JAKARTA. Pemerintah meminta nama-nama orang Indonesia yang tercantum dalam dokumen Panama atau Panama Papers mengikuti kebijakan tax amnesty. Pemerintah mengaku sudah mengantongi dokumen yang rinci, yang bisa dijadikan senjata untuk mendesak orang-orang kaya melunasi kewajiban pajaknya. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan telah memiliki data dari 6.000 warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki rekening di luar negeri dan kemungkinan tidak mencatatkannya dalam surat pemberitahuan (SPT) pajak tahunan. Modusnya, menggunakan special purpose vehicle (SPV) dengan wilayah favorit di British Virgin Islands. Menurut Bambang, tidak menjadi masalah orang Indonesia memiliki rekening atau mendirikan SPV di luar negeri. Yang salah apabila tujuannya adalah menghindari pajak. Orang-orang itulah, yang akan dikejar pemerintah.
Apalagi, menurut Bambang, sejumlah nama yang tercantum di Panama Papers memiliki account-account di luar negeri yang belum pernah dilaporkan ke pemerintah. Saat ini, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sedang mencocokkan data miliknya dengan dokumen Panama. Berdasarkan pengamatan sepintas, Bambang mengaku banyak nama di Panama Papers yang sama dengan data Ditjen Pajak. “Memang lumayan banyak yang sama. Tetapi kalau persentase mungkin kecil,” katanya, Jumat (8/4). Karena data yang dimilikinya berbeda dengan data Panama Papers, Menkeu telah memerintahkan Ditjen Pajak mendalami data Panama Papers. Jika ditemukan kesamaan nama, akan menjadi tambahan bahan penggalian informasi. Namun jika berbeda, nama-nama itu akan dijadikan data baru oleh Ditjen Pajak. Sayangnya, Bambang enggan menyebut beberapa nama yang ia maksud. Menambah likuiditas Karena itu, pemerintah meminta para konglomerat untuk mengikuti program tax amnesty. Diharapkan juga mereka membawa dananya di luar negeri masuk ke Indonesia melalui repatriasi aset. Walau skema itu bersifat opsional, namun mereka yang melakukan repatriasi aset akan menikmati tarif tebusan yang lebih rendah. RUU pengampunan pajak menyebutkan, tarif tebusan pajak 1%, 2%, dan 3%, diberikan untuk wajib pajak yang melakukan repatriasi aset. Dana itu diwajibkan masuk ke instrumen investasi dalam negeri dan tidak boleh ditarik selama setahun. Sedang tarif pengampunan pajak tanpa repatriasi aset adalah 2%, 4%, dan 6% Dana hasil repatriasi bisa menambah likuiditas di dalam negeri. Dana tersebut akan mampu membuat pasar keuangan Indonesia lebih optimal. Maklum, saat ini dana pihak ketiga (DPK) yang ada di perbankan dalam negeri baru 40,7% terhadap produk domestik bruto (PDB). Jumlah itu lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Singapura yang DPK-nya mencapai 137% dari PDB, Malaysia 94% dari PDB, dan Filipina 55% dari PDB. Di sisi lain, transaksi di pasar modal domestik juga relatif rendah, yaitu 45,2% dari PDB. Padahal di Thailand, nilai pasar modalnya mencapai 104% dari PDB dan Malaysia 156% dari PDB. Hal itu terjadi karena uang dari hasil kegiatan yang dilakukan di Indonesia berada di luar negeri.
Oleh karena itu, Bambang ingin tax amnesty jadi cara memasukkan uang tersebut. Pemerintah akan menyiapkan instrumen, mulai dari surat utang negara, surat utang BUMN untuk kategori korporasi, atau deposito untuk menampung dana repatriasi. Estimasi Bambang, aset orang kaya Indonesia di luar negeri mencapai Rp 11.450 triliun. Menteri Koordinator Ekonomi Darmin Nasution mengatakan, saat ini adalah waktu yang tepat bagi masyarakat untuk menimbang dan menghitung risiko, ikut pengampunan pajak atau tidak. "Dua tahun lagi, informasi pajak akan dibuka. Kalau tidak ambil kesempatan, nanti ketahuan juga. Orang pintar akan ikut tax amnesty, supaya tidur nyenyak," ujar dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto