KONTAN.CO.ID - TOKYO. Seiring jumlah manula yang makin banyak membuat Jepang kini kekurangan tenaga kerja. Jepang telah menyadari krisis demografi yang membayangi selama beberapa dekade terakhir, sehingga pemerintah mendatangkan lebih banyak pekerja asing dengan upah rendah. Tetapi usulannya untuk menerima ratusan ribu orang untuk mengisi pekerjaan kerah biru pada tahun 2025 sangat kontroversial di negara yang secara tradisional menolak imigrasi. Awal Desember lalu, Parlemen Jepang menerima regulasi untuk membiarkan lebih banyak pekerja imigran. Sebanyak 300.000 pekerja asing dalam lima tahun ke depan, terhitung sejak April 2019. Dilansir dari BBC, Selasa (11/12), regulasi baru itu muncul sebagai perubahan bersejarah di Jepang. Dan yang terjadi akan mengubah negara Jepang selama beberapa generasi ke depan.
Singkatnya, Jepang telah membuka diri terhadap dunia luar dan proses itu berada pada pucak kecepatan. Faktor pendorongnya adalah perubahan demografi, dimana populasi Jepang semakin menua dan anak mudanya menyusut. Sementara faktor lainnya, tingkat wisatawan asing yang meningkat dari sebelumnya, serta persiapan besar-besaran jelang Olimpiade musim panas di Tokyo di 2020. Kondisi tersebut membuat Jepang sangat membutuhkan lebih banyak tenaga kerja asing. Kebutuhan pekerja yang paling mendesak di sektor konstruksi, pertanian dan pembangunan kapal, di semua bagian negara. Industri perhotelan dan ritel juga semakin membutuhkan ketrampilan bahasa Inggris dan bahasa lainnya karena pariwisata terus meningkat. Pekerja di bidang keperawatan dan perumahan juga sangat dibutuhkan untuk merawat kelompok pensiunan yang terus meningkat. Menuruti laporan November 2018, lebih dari 345.000 pekerja asing diharapkan datang ke Jepang untuk mengisi peran di semua sektor ini dalam lima tahun ke depan. Hingga saat ini, Jepang telah mengatasi masalah impor pekerja asing dengan menggunakan program pelatihan praktek kerja sementara. Ini memungkinkan buruh muda atau pelajar untuk bekerja dengan menerima gaji rendah selama tiga hingga lima tahun sebelum pulang. Tetapi program ini telah dikritik karena mengeksploitasi pekerja di berbagai bidang mulai dari upah yang sedikit hingga kondisi kerja yang buruk. Tahun lalu, seorang lelaki Vietnam berusia 24 tahun dalam program tersebut menangani limbah nuklir radioaktif sebagai bagian dari pembersihan bencana nuklir di Fukushima Daiichi. Sejumlah media massa lokal selama bertahun-tahun mengkritik program ini sebagai bentuk perbudakan terselubung. Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe bahkan berencana dengan keterampilan rendah tinggal di Jepang selama lima tahun. Ia juga mengusulkan prosedur perpanjangan visa untuk pekerja terampil, yang diizinkan membawa keluarga mereka. Abe menargetkan, skema baru pengurusan visa itu dapat diterapkan April 2019. Abe menolak menyebut para pekerja asing itu sebagai imigran. Para kritikus khawatir rencana Abe menyediakan peluang besar bagi para imigran untuk menerima izin tinggal tetap. Ada juga kekhawatiran bahwa pekerja asing akan memadati kota dan tidak tinggal di daerah pedesanaan, wilayah yang paling membutuhkan tenaga mereka. Sementara itu, pembela hak asasi manusia (HAM) khawatir bahwa Jepang masih belum belajar bagaimana melindungi pekerja asing dari eksploitasi. Takatoshi Ito, profesor di studi kebijakan publik dan internasional di Universitas Columbia, yakin masyarakat Jepang menyadari perkembangan global. Sejauh ini, sebagian pekerja asing membantu pertumbuhan ekonomi, mengambil pekerjaan yang tidak mau diambil Jepang. Namun Nakai, pengacara di Lembaga imigrasi ini, menyebut untuk mendapatkan visa hanyalah awalan. Proses asimilasi mereka dengan budaya Jepang merupakan tantang besar, berupa ketimpangan pengetahuan Bahasa dan budaya sebagai hambatan utama yang akan dihadapi para pekerja asing. “Jiwa para wajib pajak setuju, pemerintah setidaknya menyediakan kursus bahasa Jepang yang gratis atau berbiaya murah, di seluruh penjuru Jepang sebagai langkah awal,” kata Nakai.
Berasal dari Nepal, Bhupai Shrestha adalah salah satu dari 1,28 juta pekerja asing yang tinggal di Jepang. Angka ini merupakan rekor, naik dari 480.000 pada tahun 2008. Namun angka tersebut hanya mewakili 1% dari populasi Jepang. Hampir 30% pekerja asing Jepang berasal dari China, disusul Vietnam, Filipina, dan Brazil. Shrestha adalah seorang dosen universitas yang tinggal di Kawasan Suginami Tokyo, sebuah daerah perumahan yang dikenal karena gang-gang sempitnya yang dipenuhi toko-toko pakaian bekas dan barang antik. Dia tinggal di Jepang selama 15 tahun, tetapi jalan untuk mendapatkan visa untuk izin tinggal permanen tidak mudah. Dia mengaku mengalami diskriminasi terkait perihal mendasar, seperti mencari kamar untuk tempat tinggal atau tempat usaha, membuka rekening bank, mengajukan kartu kredit. Dia juga mengatakan sulit bagi imigran mempunyai suara terhadap kebijakan pemerintah yang mempengaruhi kehidupan mereka. “Masyarakat Jepang tengah membuka diri mereka terhadap imigran, tapi di beberapa daerah, penduduk Jepang tetap konservatif,” pungkasnya.
Editor: Herlina Kartika Dewi