KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Harga minyak mentah terkoreksi hingga ke bawah level US$ 70 per barel atau terendah sejak Desember 2023 lalu. Berita negatif dari perekonomian global telah mengkhawatirkan permintaan minyak. Mengutip tradingeconomics, harga minyak mentah WTI berjangka diperdagangkan sekitar US$ 69,6 per barel atau turun sekitar 8,55% dalam sepekan per Kamis (5/9). Harga minyak mentah bertahan mendekati level terendah dalam lebih dari delapan bulan, setelah aksi jual besar-besaran baru-baru ini. Pengamat Komoditas dan Mata Uang melihat, harga minyak tertekan kekhawatiran akan prospek permintaan yang lemah. Hal itu dapat terlihat dari kabar teranyar mengenai kemungkinan OPEC+ akan membatalkan peningkatan produksi.
Seperti diketahui, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya yang dipimpin oleh Rusia atau OPEC+ pekan lalu, akan melanjutkan kenaikan produksi sebesar 180.000 barel per hari pada bulan Oktober. Namun, sentimen pasar minyak yang rapuh atas prospek pasokan yang lebih banyak dari OPEC+ dan berakhirnya perselisihan yang menghentikan ekspor Libya. Ditambah dengan prospek permintaan yang melemah, telah menimbulkan kekhawatiran dalam kelompok tersebut. Sehingga, OPEC+ diperkirakan batal meningkatkan produksi minyak sebagai respons kondisi perekonomian global.
Baca Juga: Harga Minyak Naik Tipis, OPEC+ Berpeluang Menunda Kenaikan Pasokan Di samping itu, Lukman melihat, investor masih ragu permintaan minyak akan membaik walau berbagai bank sentral termasuk the Fed sudah memangkas suku bunga. Harga minyak mentah saat ini dan beberapa tahun terakhir memang lebih didikte oleh kebijakan kontrol produksi OPEC. ‘’Lemahnya harga minyak sepenuhnya oleh faktor pasokan dan permintaan,’’ kata Lukman kepada Kontan.co.id, Kamis (5/9). Lukman menuturkan, harga minyak sempat bertahan tinggi di level US$ 80 per barel, berkat kontrol kebijakan produksi OPEC. Jika tanpa pengaruh organisasi pengekspor minyak dunia tersebut, maka harga ideal minyak sebenarnya berkisar US$ 60 per barel. Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo melihat, berita ekonomi global yang lebih lemah dari perkiraan telah membebani prospek permintaan energi global termasuk harga minyak mentah. Misalnya, lowongan pekerjaan JOLTS AS bulan Juli turun 237.000 ke level terendah dalam 3-1/2 tahun sebesar 7,673 juta. Ini menunjukkan pasar tenaga kerja yang lebih lemah dari ekspektasi sebesar 8,100 juta. Selain itu, PMI gabungan S&P Zona Euro bulan Agustus direvisi turun sebesar -0,2 menjadi 51,0 dari yang dilaporkan sebelumnya sebesar 51,2. PMI jasa Caixin Tiongkok bulan Agustus turun -0,5 menjadi 51,6, lebih lemah dari ekspektasi sebesar 51,8. Terakhir, PMI jasa Bank Jibun Jepang bulan Agustus direvisi turun sebesar -0,3 menjadi 53,7 dari yang dilaporkan sebelumnya sebesar 54,0. ‘’Data ekonomi global menunjukkan pelemahan permintaan energi dan harga minyak mentah,’’ imbuh Sutopo kepada Kontan.co.id, Kamis (5/9). Sutopo berujar, harga minyak mentah juga mengalami penurunan sejak hari Selasa ketika Gubernur Bank Sentral Libya Sadiq Al-Kibir mengatakan ada indikasi "kuat" bahwa faksi-faksi politik hampir mencapai kesepakatan untuk mengatasi perbedaan politik dan melanjutkan produksi minyak mentah negara tersebut. Alhasil, kemungkinan lebih dari 500.000 barel minyak mentah Libya akan segera kembali ke pasar disaat permintaan yang lemah. Sebelumnya, pelabuhan-pelabuhan utama Libya menghentikan ekspor minyak, dan produksi dipangkas di seluruh negeri karena kebuntuan antara faksi-faksi yang bersaing untuk menguasai bank sentral dan akses ke pendapatan minyak. Organisasi pengekspor minyak dan sekutunya yakni OPEC+ pun mungkin menunda peningkatan produksi minyak mentah yang direncanakan sebagai respons terhadap kekhawatiran tentang permintaan energi yang lemah dan melimpahnya produksi.
Baca Juga: Harga Minyak Mentah Brent Turun Akibat Kekhawatiran Permintaan Global Di sisi lain, Sutopo mencermati bahwa dukungan kenaikan harga minyak datang dari data API yang menunjukkan penurunan signifikan dalam persediaan minyak mentah AS sebesar 7,4 juta barel minggu lalu, jauh lebih besar dari perkiraan penurunan 0,9 juta barel. ‘’Penurunan nilai tukar dolar semestinya juga dapat meningkatkan permintaan, namun itu tergantung dari negara konsumen, apakah mereka mau menimbun stok atau tidak. Sebab, laju pertumbuhan ekonomi masih terlihat di wilayah yang labil,’’ jelas Sutopo. Sutopo memproyeksikan, hingga akhir tahun 2024, harga minyak mentah diperkirakan akan diperdagangkan US$ 75,75 per barel pada akhir tahun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat