KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi selama periode Januari sampai Agustus 2024 mencapai 46.240 kasus PHK. Jumlah itu setara 71,3% dari angka PHK yang terjadi di sepanjang tahun 2023 yang menembus 64.855 kasus. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK)
, Muhadjir Effendy meminta Kementerian Sosial mendata pekerja/buruh yang terkena PHK. Pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan dalam pendataan tersebut. Muhadjir mengaku salah satu tantangannya adalah karena adanya perusahaan yang melakukan PHK namun tidak melaporkannya ke Dinas Ketenagakerjaan setempat. Padahal, pemerintah telah menyiapkan bantuan sosial kepada buruh/pekerja terkena PHK yang sesuai kriteria bisa mendapat bantuan sosial.
"Jadi akan kita telisik, mana yang memang harus diberi bantuan, dan mana yang tidak," ujar Muhadjir ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (4/9).
Muhadjir mengatakan, jumlah pekerja/buruh terkena PHK yang dilaporkan Kemnaker merupakan pekerja/buruh sektor formal dan rata-rata sudah mendaftar menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Baca Juga: Pengusaha Konveksi Sebut Penerapan BMAD Bisa Cegah PHK di Industri TPT Sehingga pekerja tersebut dapat manfaat program jaminan sosial ketenagakerjaan, termasuk jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). Sebab itu, pihaknya akan memverifikasi terlebih dahulu. Jika memang kemudian harus ada intervensi dari Kementerian Sosial berupa bantuan sosial, maka akan diupayakan.
"Tapi sejauh ini yang harus dibantu secara sosial karena jatuh miskin itu masih kecil," ucap Muhadjir.
Muhadjir mengatakan, manfaat yang didapat dari program jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) diantaranya uang tunai, akses informasi pasar kerja, konseling, dan pelatihan kerja.
Sedangkan, buruh yang terkena PHK namun tidak terdaftar menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, masih akan ditelusuri oleh pemerintah.
"Ini sedang kita telisik, jadi saya minta untuk perusahaan-perusahaan yang PHK supaya terbuka, agar kita bisa menindaklanjuti," jelas Muhadjir.
Baca Juga: Badai PHK Menerjang, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Melambat Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)
, Shinta Kamdani melihat dampak situasi global yang tak menentu dari sisi demand. Sebab itu, perlunya meningkatkan demand domestik yang kemudian bisa meningkatkan iklim usaha supaya kelas menengah bisa naik. "Satu sisi
demand-nya menurun, tapi sisi lain kita juga lihat cost-nya bisnis ini tetap tinggi," ujar Shinta ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (4/9). Sebelumnya, Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendy Manilet mengatakan, kasus PHK dapat melemahkan daya beli masyarakat yang terdampak. Apalagi, jika kompensasi yang diberikan dari PHK itu tidak dapat memenuhi kebutuhan harian. Menurutnya, meningkatkanya kasus PHK tahun ini bisa berdampak terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Bahkan CORE memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya berada di kisaran 4,9% sampai 5% atau berada dibawah proyeksi pertumbuhan yang disampaikan pemerintah yang mencapai 5,1%.
"PHK ini bisa berdampak terhadap potensi penyesuaian konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat yang terkena PHK," kata Rendy pada Kontan.co.id, Selasa (3/9).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Putri Werdiningsih