JAKARTA. Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori mengatakan kesimpang siuran data pangan terjadi karena perbedaan metode yang dilakukan. Akibatnya menimbulkan ketidakvalidan data. Selama ini ada dua cara pengumpulan data, pertama lewat metode survei di lapangan dan lewat pendekatan. Nah pengumpulan lewat pendekatan ini yang kerap tidak akurat karena hanya menduga. "Misalkan menduga luasnya lahan sawah yang akan dipanen hanya dengan pandangan mata," ujar Khudori kepada KONTAN, Rabu (10/6). Kekacauan data pangan ini, telah terjadi bertahun-tahun. Khudori mengambil contoh, pada tahun 2014. Disebutkan produksi gabah kering giling (GBK) sebesar 70,8 juta ton dengan redemen 63%. Artinya per 1 kuintal GBK kalau digiling menjadi 63 kilogram (kg) beras.
Data pangan kacau lantaran survei berdasar dugaan
JAKARTA. Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori mengatakan kesimpang siuran data pangan terjadi karena perbedaan metode yang dilakukan. Akibatnya menimbulkan ketidakvalidan data. Selama ini ada dua cara pengumpulan data, pertama lewat metode survei di lapangan dan lewat pendekatan. Nah pengumpulan lewat pendekatan ini yang kerap tidak akurat karena hanya menduga. "Misalkan menduga luasnya lahan sawah yang akan dipanen hanya dengan pandangan mata," ujar Khudori kepada KONTAN, Rabu (10/6). Kekacauan data pangan ini, telah terjadi bertahun-tahun. Khudori mengambil contoh, pada tahun 2014. Disebutkan produksi gabah kering giling (GBK) sebesar 70,8 juta ton dengan redemen 63%. Artinya per 1 kuintal GBK kalau digiling menjadi 63 kilogram (kg) beras.