KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perubahan layanan yang dilakukan RTI Business menjadi buah bibir pelaku pasar belakangan ini. Saat ini, publik harus menjadi member alias berbayar untuk bisa mengakses informasi di RTI. Sebelumnya pada 4 November 2024, RTI menerapkan data price (last, bid, ask) pada menu watchlist, stock, overview, movers dan chart disajikan secara delay selama 10 menit untuk memenuhi ketentuan Bursa Efek Indonesia (BEI). Sekretaris Perusahaan Bursa Efek Indonesia Kautsar Primadi Nurahmad menjelaskan pihaknya tidak melarang RTI untuk menampilkan data realtime alias waktu nyata, selama RTI melaporkan pengguna akhir atas data tersebut.
"Apabila seluruh persyaratan terpenuhi, maka RTI dapat kembali menampilkan data secara real time," jelasnya kepada Kontan, Senin (25/11). Usai ramai-ramai soal keputusan RTI untuk mengganti layanannya menjadi berbayar, langkah Bursa Efek Indonesia membatasi akses data turut menarik perhatian pelaku pasar.
Baca Juga: IHSG Ditutup Menguat 1,65%, Cek Proyeksi dan Rekomendasi Saham untuk Selasa (26/11) Saat ini, BEI hanya menampilkan data dalam tiga tahun terakhir. Kalau publik butuh data lebih dari tiga tahun terakhir, publik bisa mengakses data melalui TICMI, anak usaha PT Bursa Efek Indonesia. TICMI menawarkan beberapa paket langganan dengan harga yang bervariasi. Jika ingin data yang lengkap, TICMI memberikan paket Pro yang dibanderol sebesar Rp 250.000 untuk satu bulan. Irvan Susandy, Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa Efek Indonesia menyebut data jangka tiga tahun terakhir sudah cukup panjang untuk diberikan kepada publik. Dia bilang publik membutuhkan data yang lebih lama, investor bisa bergabung menjadi nasabah anggota bursa (AB). Tetapi di luar nasabah, bisa mencari data melalui TICMI. Irvan bilang tren penjualan data ini merupakan hal yang umum dilakukan oleh bursa lain. Dia mencontohkan, di Bursa Malaysia pendapatan data berkontribusi sebesar 12% dari total pendapatannya. Di Bursa Saham Thailand segmen capital market technology and infrastructure services berkontribusi 18% dari total pendapatannya. Sementara, di bursa Singapura kontribusi segmen data dan konektivitas berkontribusi 12%. "Kalau transaksi sepi, otomatis pendapatan sepi sedangkan pengembangan harus berjalan untuk itu kami perlu alternatif pendanaan lain, dari
listing fee dan layanan data. Ini adalah
commen practice," kata Irvan saat ditemui Kontan di Gedung BEI. Irvan menjelaskan BEI masih memberikan subsidi bagi anggota bursa untuk layanan data karena memang layanan ini data ini diperuntukkan bagi pelanggan di luar negeri.
Baca Juga: Saham MAYA Melesat, AMMN dan MPPA Anjlok pada Bursa Hari Senin (25/11) "Kami menargetkan kontribusi segmen pendapatan layanan dana bisa bisa setara dengan bursa di luar negeri dan kami menyasar pada pelanggan luar negeri," ucapnya. Pengamat Pasar Modal Yanuar Rizki menilai langkah yang dilakukan BEI sebagai otoritas bursa menggunakan cara berpikir korporasi, bukan sebagai Self-Regulatory Organization (SRO). "Sepanjang Undang-Undangan Pasar Modal tidak dilakukan amandemen dari prinsip mutual (SRO) ke korporasi (demutualisasi), maka hal ini belum bisa dilakukan," ucapnya. Yanuar menilai dari sisi prinsip keterbukaan data, kalaupun demutualisasi, maka data harus ada terbuka dan gratis di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurutnya, ini menjadi pertanyaan bagi OJK juga. "Ini jadi pertanyaan juga untuk OJK, data-data emiten adalah data publik, kalau itu dikelola BEI harus gratis. Sama dengan data perdagangan yang real time karena terkait data publik," tutur dia. Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia (UI) Budi Frensidy menyatakan tidak setuju kalau akses data yang ada di pasar modal semakin dibatasi. Mestinya data pasar harus mudah diakses dan gratis.
"RTI juga jadi tidak free karenanya. Padahal sangat membantu banyak orang dan juga meningkatkan literasi," ucap Budi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari