KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Rupiah menutup pekan ini dengan penguatan terbatas di perdagangan akhir pekan, Jumat (31/5). Mata uang garuda masih belum lepas dari tekanan seiring penantian data tenaga kerja Amerika Serikat (AS) dan inflasi Indonesia. Mengutip
Bloomberg, Jumat (31/5), rupiah spot menguat tipis 0,08% ke level Rp 16.252 per dolar AS. Rupiah JIsdor Bank Indonesia (BI) juga menguat terbatas sekitar 0,01% ke level Rp 16.251 per dolar AS, dibandingkan hari sebelumnya Rp 16.253 per dolar AS. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mencermati bahwa rupiah mengalami penguatan terbatas di tengah pelemahan mayoritas mata uang Asia lainnya terhadap dolar AS. Rupiah dibuka menguat akibat data Produk Domestik Bruto (PDB) AS yang direvisi ke bawah, namun penguatan Rupiah tersebut terbatasi akibat data manufaktur Tiongkok.
“Pergerakan rupiah pada hari ini bergerak pada level Rp16.240 hingga Rp16.263 per dolar AS, dan ditutup menguat terbatas,” ucap Josua kepada Kontan.co.id, Jumat (31/5). Josua menuturkan, rupiah telah terdepresiasi sekitar 1,58% secara mingguan atawa
week to week (WtW) di pekan ini. Pelemahan rupiah akibat pernyataan-pernyataan pejabat the Fed yang mengarah ke narasi
hawkish, lalu diikuti oleh beberapa data AS yang cenderung solid.
Baca Juga: Terdapat Aliran Modal Asing Masuk Rp 4,75 Triliun Pada Pekan Terakhir Mei 2024 Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo mengatakan, rupiah terus melemah di saat Indeks Dolar AS stabil pada perdagangan akhir pekan, Jumat (31/5). Hal itu karena investor bersiap untuk laporan indeks harga Price Consumption Expenditure (PCE) AS untuk bulan April 2024. “Data inflasi PCE AS merupakan ukuran inflasi pilihan The Fed,” ujar Sutopo kepada Kontan.co.id, Jumat (31/5). Sutopo berujar, dolar sempat berada di bawah tekanan dan mengikuti penurunan imbal hasil Treasury AS karena data yang direvisi menunjukkan bahwa ekonomi Amerika tumbuh dengan laju tahunan yang lesu sebesar 1,3% pada kuartal pertama. Ini lebih rendah dari perkiraan awal sebesar 1,6% terutama karena belanja konsumen yang lebih lambat. Data ekonomi yang direvisi serta komentar Presiden Fed New York John Williams bahwa kebijakan restriktif telah membantu menurunkan inflasi menghidupkan kembali harapan penurunan suku bunga AS. Namun, Presiden Fed Dallas Lorie Logan mengatakan dia masih khawatir mengenai risiko kenaikan inflasi dan menyerukan kehati-hatian dalam menyesuaikan kebijakan. Pasar saat ini memperkirakan kemungkinan 55% bahwa The Fed akan mulai menurunkan suku bunga pada bulan September, naik dari 51% sehari sebelumnya.
Baca Juga: IHSG Melemah 3,48% dalam Sepekan, Simak Proyeksi Pekan Depan dan Rekomendasi Sahamnya Menurut Sutopo, rupiah bakal cenderung mendatar namun tetap rentan pada perdagangan Senin (3/6) besok. Proyeksi itu karena karena pelaku pasar tengah menunggu laporan pekerjaan AS. Pasar juga akan menunggu laporan inflasi Indonesia pada hari Senin. Data ini penting karena akan menjadi masukan untuk Bank Indonesia (BI) dalam menentukan kebijakan moneter ke depan.
“Data aktual yang keluar di atas perkiraan akan mendukung Rupiah karena dengan demikian Bank Indonesia akan mempertahankan suku bunga tetap lebih tinggi. Data yang lebih lemah, akan membebani Rupiah,” imbuh Sutopo. Sementara, Josua memperkirakan rupiah berpotensi bergerak menguat sejalan dengan potensi data tenaga kerja AS yang semakin melonggar. Amerika dijadwalkan akan merilis data tenaga kerja di pekan depan antara lain ISM Manufacturing PMI dan Jolts Job Opening. Josua memproyeksi rupiah akan bergerak di kisaran Rp 16.175 per dolar AS–Rp 16.300 per dolar AS. Sedangkan, Sutopo memprediksi rupiah akan bergerak di kisaran Rp 16.200 per dolar AS–Rp 16.300 per dolar AS di perdagangan Senin (3/6). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati