KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Datong Jaya Indonesia meneken nota kesepahaman (MoU) dengan ITB dan Tsinghua University untuk membentuk konsorsium pengembangan teknologi pembangkit listrik tenaga panas. Kesepakatan itu dicapai dalam forum 91st IEA–Fluidized Bed Conversion Technology Collaboration Programme (FBC TCP) yang digelar di CRCS ITB pada 14–17 November 2025, dan dihadiri peneliti serta pelaku industri energi dari 19 negara. Inisiatif konsorsium bermula dari pertemuan pada 2024 antara Direktur Eksekutif PT Datong Jaya Indonesia Andy Wan Ping dan Harui Yang dari IEA-FBC di Tsinghua University. Pertemuan tersebut mendorong gagasan agar Indonesia mengambil peran lebih besar dalam pengembangan teknologi
Fluidized Bed Conversion (FBC).
Pada gelaran FBC TCP ke-91 ini, Indonesia tidak hanya menjadi tuan rumah, tetapi juga menjadi pusat diskusi mengenai masa depan pembangkit listrik, terutama teknologi FBC, pemanfaatan biomassa, dan sistem
waste cofiring yang menjadi pilar transisi energi nasional.
Baca Juga: 47 PLTU Telah Mengadopsi Co-Firing, Mampu Menyerap 1,8 Juta Ton Biomassa IEA–FBC TCP sendiri merupakan program riset global terkait teknologi pembakaran efisien untuk batubara, biomassa, limbah, hingga batubara kalori rendah. Forum menegaskan bahwa PLTU memasuki era baru menuju pembangkit yang lebih bersih dan fleksibel melalui konsep
multifuel coupling power generation. “Pembangkit listrik perlu beralih dari pembangkit listrik tradisional ke pembangkit listrik dengan sistem multifuel coupling,” ujar Andy Wan Ping dalam keterangannya, Selasa (25/11/2025). Indonesia dinilai perlu mengadopsi model PLTU multifuel untuk menjawab kebutuhan listrik yang terus meningkat, di tengah keterbatasan energi baru terbarukan sebagai sumber beban dasar. Teknologi
Circulating Fluidized Bed (CFB) menjadi kunci karena mampu mengolah berbagai jenis bahan bakar—mulai biomassa, RDF, limbah cair, gas buangan industri, sludge sawit, hingga energi terbarukan lainnya—dalam satu sistem. Direktur Teknologi Datong Jaya, Bayu Aji Prakoso, menegaskan biomassa akan menjadi komponen penting dalam transisi energi. Biomassa tidak menggantikan batubara sepenuhnya, tetapi menjadi penopang masa transisi dengan membantu menurunkan emisi tanpa mengganggu stabilitas sistem energi nasional. Namun, keberhasilan
co-firing bergantung pada ketersediaan bahan baku yang stabil dan harga yang terjangkau.
Baca Juga: PLN IP Digitalisasi Rantai Pasok Biomassa Lewat Marketplace di PLTU Adipala Untuk memastikan suplai biomassa yang andal, PT Datong Jaya Indonesia bekerja sama dengan PLN–EPI. Kedua pihak menandatangani MoU pada Agustus 2025 untuk pengembangan teknologi
biomass pre-treatment. Kerja sama ini menegaskan bahwa ekosistem pasokan menjadi kunci keberhasilan transformasi PLTU. Biomassa dipilih karena dapat digunakan langsung di PLTU tanpa membangun pembangkit baru, memiliki suplai stabil, tidak mengalami intermitensi seperti tenaga surya dan angin, dan lebih ramah lingkungan. Laporan IPCC mencatat potensi biomassa mencapai 72 EJ listrik global pada 2050, bahkan menghasilkan emisi negatif jika dipadukan dengan BECCS. Lebih lanjut, Andy mengatakan , dalam konteks
waste cofiring, teknologi CFB juga memungkinkan pemanfaatan RDF, limbah cair, dan
sludge industri. Data forum menunjukkan emisi dioxin sangat rendah, jauh di bawah standar Uni Eropa dan Tiongkok. Suhu pembakaran 880–900°C dinilai efektif mencegah pembentukan
prekursor dioxin sehingga teknologi ini aman dengan prosedur operasional yang tepat.
Baca Juga: HTI untuk Biomassa, Mendukung Energi Terbarukan dan Hutan Lestari Meski begitu, Andy menekankan ada sejumlah tantangan teknis masih dihadapi, seperti slagging pada bahan bakar bersilikat tinggi, korosi akibat kandungan klorin, hingga ketidakstabilan pembakaran biomassa basah. Forum menghadirkan berbagai solusi, mulai
screw feeder dan
pneumatic conveyor, burner khusus limbah cair dan gas, material antikarat TP347H, hingga teknologi pelepasan slag terarah.
Transformasi menuju PLTU multifuel juga membuka peluang bisnis baru. Ke depan, PLTU bisa meraih pendapatan tambahan dari pengolahan limbah, penjualan energi multifuel, layanan stabilisasi grid, hingga kredit karbon. Dengan demikian, PLTU berpotensi berkembang menjadi pusat energi multifungsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News