David Sumual, Kepala Ekonom BCA: bunga turun juga tidak naikkan ekonomi



Suka tidak suka, BI memang harus menaikkan suku bunga acuan. Langkah ini untuk meredam pergerakan rupiah terhadap dollar AS yang semakin liar.

Namun, di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih stagnan, kenaikan BI 7-day reverse repo rate cukup riskan. Kebijakan yang bakal diikuti kenaikan bunga kredit perbankan bisa mengerem laju pertumbuhan ekonomi.

Seberapa besar dampak kenaikan suku bunga acuan ke makroekonomi kita? Pemerintah perlu melakukan apa? Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menyampaikan pandangannya kepada  wartawan KONTAN Lamgiat Siringoringo, Kamis (28/6).  Berikut nukilannya:  


KONTAN: Bagaimana pendapat Anda soal kenaikan suku bunga acuan BI dengan melihat pertumbuhan ekonomi yang masih stagnan? DAVID: BI memang dilematis saat menaikkan suku bunga acuan. Di satu sisi, sesuai mandat undang-undang, tugas utama BI adalah menjaga stabilitas rupiah dan inflasi. Di sisi lain, ada semacam adagium bank sentral dunia, tugas mereka tidak hanya mementingkan stabilitas, juga harus mendorong pertumbuhan ekonomi.

Dengan kenaikan suku bunga acuan, ada yang mengatakan, kebijakan BI itu akan mengganggu pertumbuhan. Memang, ada konsekuensinya ke pertumbuhan ekonomi.

Tapi, menurut saya, kepentingan jangka pendek dari kenaikan suku bunga lebih untuk menjaga stabilitas rupiah. Kita memang perlu mendorong pertumbuhan tetapi bisa dengan cara-cara lain.

Walau secara historis, suku bunga turun juga tidak serta merta menaikkan pertumbuhan ekonomi. Ini, kan, sudah hampir dua tahun tren suku bunga rendah tapi pertumbuhan kredit cenderung menurun dan pertumbuhan ekonomi juga cenderung stagnan.

Artinya, ada faktor selain suku bunga yang menjadi pertimbangan pelaku usaha atau konsumen saat mengambil kredit bank.

KONTAN: Memang, faktor lain tersebut apa saja? DAVID: Misalnya, pengusaha melihat prospek pertumbuhan, prospek usaha, dan keyakinan konsumen dalam belanja. Ini masalah sentimen dan kepercayaan diri. Pelaku usaha punya pandangan masing-masing. Mereka melihat kecenderungannya masih flat.

Pertumbuhan kredit cenderung menurun. Kredit yang tidak terpakai juga masih tinggi padahal sudah dikasih bank dan porsinya cukup besar. Artinya, masih menunggu dan melihat momentum sebelum mencairkan kredit.   

KONTAN: Kalau begitu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, dong, dari keputusan BI menaikkan suku bunga acuan terhadap kondisi makroekonomi di dalam negeri? DAVID: Ya, memang kenaikan suku bunga acuan harapannya adalah bisa menjaga stabilitas. Volatilitas kurs rupiah bisa lebih terjaga dibanding suku bunga dalam jangka pendek.

Dalam jangka pendek, BI menyadari, kalau nilai tukar rupiah terlalu bergerak melemah secara signifikan, maka sangat disruptif bagi ekonomi dibanding pergerakan suku bunga.

Memang dalam jangka pendek, dampak kenaikan suku bunga acuan tidak akan terlihat, Efeknya akan terlihat dalam jangka menengah panjang. Makanya, BI memilih menaikkan suku bunga karena perhitungan jangka pendek tersebut.

Secara historis juga, suku bunga bukan hanya satu-satunya variabel yang menjadi acuan pelaku usaha sebelum  melakukan ekspansi. Negara kita juga sangat tergantung dengan impor dan aliran dana dari asing. Kalau ada yang mengganggu kurs, maka bisa mengganggu neraca perdagangan dan impor negara kita.

Transaksi berjalan kita juga masih dibiayai dari luar. Sejak awal tahun atau year to date, neraca perdagangan kita masih defisit hingga US$ 2,8 miliar. Sampai April malah angka defisit mencapai US$ 3,1 miliar.

Sementara, defisit neraca transaksi berjalan kita di kuartal kedua tahun ini sebesar 2,2% dari produk domestik bruto (PDB), dan bisa mengarah ke 3% pada kuartal kedua.

Ini, kan, mesti dibiayai. Perlu semacam pemanis untuk investor. Suka tidak suka, kita tergantung pada investor portofolio yang berinvestasi di surat berharga negara (SBN), saham, dan lainnya.

KONTAN: Lalu, apa kebijakan BI yang kira-kira bisa mengimbangi kenaikan suku bunga acuan agar kondisi makroekonomi terjaga? DAVID: Salah satunya adalah relaksasi loan to value ratio (LTV) properti. Dengan begitu, sektor properti bisa lebih bergairah bergerak. Jadi, LTV sebagai bantalan. Memang, secara kebijakan moneter, suku bunga acuan dan LTV yang hanya bisa dilakukan bank sentral.

KONTAN: Ini berarti, pemerintah juga harus membantu BI dalam menjaga kondisi makroekonomi kita, ya? DAVID: Iya, memang tidak semata-mata kebijakan moneter saja, harus diikuti kebijakan fiskal, perdagangan, investasi, dan struktural lainnya. Terbukti, kebijakan moneter saja tidak serta merta mendorong pertumbuhan kredit.

Kalau melihat penurunan suku bunga sebelumnya, tidak serta merta diikuti pertumbuhan kredit. Begitu juga dengan kondisi makro dalam negeri, termasuk pertumbuhan ekonomi yang cenderung flat. Jadi, banyak faktor struktural yang perlu dibenahi.   

KONTAN: Kalau begitu, apa yang bisa pemerintah lakukan dalam jangka pendek? DAVID: Sayangnya dalam jangka pendek, konsentrasi pemerintah agak terpecah. Selesai pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak, ada pendaftaran peserta pemilihan presiden dan legislatif.

Memang agak wajar, bukan lagi kebijakan ekonomi yang diperhatikan tetapi juga masalah politik. Yang penting, memang bukan kebijakan drastis yang dibutuhkan.

Namun agar konsisten, pemerintahan sekarang cukup menjaga kebijakan struktural dengan menjalankan terus 16 paket kebijakan yang sebelumnya sudah dikeluarkan. Ini saja diimplementasikan secara konsisten.

Itu sudah cukup untuk menenangkan pasar. Kalau keluar kebijakan drastis tapi implementasinya tidak ada, maka pasar juga bisa kecewa. Jadi, memang harus hati-hati juga lantaran pasar bisa berekspektasi terlalu berlebih. Sehingga jika tidak dijalankan, bisa membuat pasar kecewa.

KONTAN: Kalau dalam jangka panjang, apa saja yang bisa pemerintah lakukan? DAVID: Untuk jangka panjang, yang utama adalah persoalan kronis neraca transaksi berjalan, bagaimana caranya bisa surplus. Sebab, ekspor lemah dan ketergantungan impor sangat besar.

Bahan baku untuk produk ekspor saja, hampir 80% berasal dari barang impor. Industri kita memang lemah dan kalah bersaing dengan negara lain di Asia Tenggara.

Jadi, pemerintah cukup konsentrasi saja membenahi neraca transaksi berjalan yang masih defisit. Yang mengakibatkan begitu, kan, ada gangguan valas dari kondisi luar dan kita akan ikut terganggu.

Kita masih bergantung pada dana portofolio untuk membiayai defisit neraca transaksi berjalan. Kita terlalu banyak impor serta melakukan pembayaran dividen.

Untuk mempertahankan aliran dana itu masuk ke Indonesia, memang harus menaikkan suku bunga acuan. Makanya di negara lain seperti Thailand, walau mata uangnya terganggu mereka masih oke karena neraca transaksi berjalannya positif. Sedang cadangan devisa kita terus tergerus untuk mempertahankan stabilitas rupiah.

KONTAN: Upaya pemerintah untuk menjaga dana asing masuk dan tidak keluar? DAVID: Di saat gejolak seperti sekarang, memang agak sulit mengeluarkan kebijakan lainnya. Interpretasi pasar bisa berbeda begitu ada kebijakan baru. Kalau dalam kondisi stabil, cukup banyak kebijakan yang bisa pemerintah keluarkan.

Misalnya, supaya dana asing di obligasi mengendap lama, maka pajaknya harus rendah. SBN yang sifatnya deposit, ditahan lebih lama. Cuma, kalau kebijakan itu dikeluarkan sekarang, pasar bisa menganggap sebagai capital reflection.

Lalu, ada kebijakan berupa kewajiban menahan devisa hasil ekspor. Sekarang kita cuma mencatat devisa hasil ekspor saja. Namun, saat ini kebijakan itu susah dilakukan karena sifatnya prefentif. Kalau dijalankan sebagai kebijakan reaktif, maka pasar bisa menganggapnya berbeda. Sejarah, kan, juga mencatat seperti itu.

KONTAN: Pemerintah perlu menaikkan yield obligasi agar asing tetap mau masuk? DAVID: Tidak usah dinaikkan, sudah naik sendiri, kok. Itu, kan, mekanisme pasar.  

KONTAN: Ke depan, BI mengerek suku bunga lagi? DAVID: Saya pikir, kemarin bukan kenaikan terakhir. Tahun ini The Fed masih akan menaikkan suku bunga lagi. Tahun depan mereka juga akan menaikkan lagi suku bunga. Dan tahun depan juga akan diikuti oleh bank sentral negara lain.

KONTAN: Pengaruh kenaikan suku bunga ke inflasi? DAVID: Dengan rupiah yang semakin melemah hingga menembus Rp 14.200 per dollar AS, impor bakal terpengaruh. Nah, pengaruh impor ke inflasi memang cukup tinggi. Tapi, saya perkirakan, inflasi masih di 4% hingga akhir tahun.

KONTAN: Rupiah akan bergerak ke angka berapa? DAVID: Rupiah memang menuju keseimbangan baru. Dengan hitungan fundamental, maka angka Rp 14.200 memang sudah terlalu lemah.

KONTAN: Berapa keseimbangan baru rupiah? DAVID: Di kisaran Rp 13.900–Rp 14.000 dengan hitungan fundamental. Kalau di pasar saham, ada hitungan saham mahal atau tidak. Kalau sekarang, kurs rupiah sudah kemahalan.          

◆ Biodata

Riwayat pendidikan: ■     Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia  

Riwayat pekerjaan: ■     Ekonom Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LM FEUI)                                           ■     Senior Economist Danareksa Research Institute (DRI)                               ■     Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia   ■     Komisaris Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Extension ■     Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya, Jakarta    ■     Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA).                                                      

** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN 2 Juli-8 Juli 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Bunga Turun, juga Tidak Naikkan Ekonomi"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Mesti Sinaga