JAKARTA. Kinerja emiten sektor ritel tahun ini cenderung melemah. Penyerapan tenaga kerja yang melempem membuat daya beli masyarakat melemah lalu menekan penjualan industri ritel. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, hanya 345.243 orang yang diserap sebagai tenaga kerja pada kuartal II 2017. Jumlah ini menurun dari periode yang sama di 2016 dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 354.739 orang. Padahal, realisasi penanaman modal pada kuartal kedua lalu naik 12,7% dibandingkan dengan masa yang sama tahun lalu. Secara umum, menurut Arnold Sampeliling, Analis NH Korindo, kinerja emiten sektor ritel agak melemah lantaran penyerapan tenaga kerja menurun. Jumlah penduduk yang sudah lulus sekolah tapi tidak terserap sebagai tenaga kerja semakin banyak. Mereka pun tidak memiliki penghasilan sehingga tak bisa menunjang daya beli.
Emiten sektor ritel sebenarnya berharap mendapat tambahan penjualan saat momentum Lebaran lalu. Tapi, lonjakan penjualan yang terjadi tidak sesuai ekspektasi. "Masa Lebaran tahun ini beriringan dekat masa tahun ajaran baru. Meningkatnya kebutuhan konsumsi yang bersamaan ini menahan belanja masyarakat," ungkap Arnold. Selain itu, Arnold menyebutkan, penyebab penurunan kinerja sektor ritel adalah cara belanja masyarakat yang kini bergeser, dari belanja bulanan dalam partai besar ke belanja ketika memang butuh atau seperlunya saja. "Pola gaya hidup bergeser, hipermarket tergerus dengan minimarket," kata Arnold. Belum lagi, kini pasar makin terbuka. Christine Natasya, Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia, mengatakan, sekarang ritel besar tidak hanya bersaing dengan ritel kecil, juga berkompetisi dengan pengecer
online yang kini banyak bermunculan. "Keterbukaan pasar perdagangan terhadap pesaing pun akhirnya akan semakin mengganggu pemain ritel," ujar Christine dalam risetnya yang terbit Kamis (27/7) lalu. Apalagi, gerai ritel besar belum banyak masuk ke daerah-daerah. Alhasil, Christine melihat, prospek ekonomi digital akan cerah. "Di daerah pedesaan, kehadiran mal masih kurang. Ini menyajikan peluang untuk e-commerce masuk sebagai solusi belanja yang lebih nyaman, tanpa harus jauh-jauh mencari ke mal," kata Christine. Meski porsi belanja
online di Indonesia masih kecil, kini dengan berkembangnya teknologi, Christine percaya, situs belanja punya kesempatan dalam meraih pasar secara luas yang tidak bisa dijangkau ritel konvensional. Penyebabnya,
pertama, konsumen mulai merasa lebih nyaman bertransaksi
online, tidak seperti beberapa tahun sebelumnya yang masih banyak kecemasan.
Kedua, penetrasi penggunaan
smartphone meningkat berkat harga yang lebih murah.
Ketiga, aktivitas belanja
online didukung dengan peningkatan konektivitas internet yang semakin terjangkau. Namun, Arnold menyatakan, penggunaan ponsel pintar untuk kemudahan mengakses informasi dan belanja
online lebih banyak dilakukan masyarakat di kota besar dibandingkan dengan masyarakat di daerah-daerah. Selain itu, kehadiran e-commerce juga menyebabkan persaingan makin ketat dan berimbas pada harga jual yang makin murah. Dalam situasi ini, tentu akan lebih menguntungkan e-commerce ketimbang pemilik gerai ritel besar. Untuk menyiasati situasi itu, Christine bilang, banyak perusahaan ritel
offline besar juga meluncurkan situs khusus belanja o
nline. Senada dengan Christine, Arnold menuturkan, antisipasi terhadap kehadiran e-commerce membuat banyak peritel membuka kanal belanja
online. Ambil contoh, PT Ace Hardware Tbk (ACES) yang memiliki
platform online bernama
www.ruparupa.com, PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) tak mau kalah, dengan memiliki toko
online www.mataharimall.com dan
www.mataharistore.com. Sementara PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) punya lapak
www.mapemall.com.
Mengerek daya beli Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2017, pemerintah mematok defisit di angka 2,92%, atau melebar dari target di APBN 2017 yang hanya 2,41%. Nah, Arnold mengharapkan APBN yang baru bisa digunakan lebih produktif, sehingga daya beli masyarakat kembali tinggi dan kinerja sektor ritel bisa meningkat. Sektor ritel juga berpeluang membaik di kuartal III dan IV tahun ini karena didorong perbaikan harga komoditas yang memengaruhi daya beli. "Perbaikan harga komoditas mendukung daya beli di Kalimantan dan Sumatra," katanya.
Untuk itu, Arnold menjagokan dua emiten sektor ritel yakni ACES dan PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS). Menurut dia, penjualan
same store sales growth (SSSG) RALS masih bisa naik 14,4% hingga semester I 2017, meski ada imbas pelemahan daya beli masyarakat. "Pertumbuhan pendapatan RALS juga baik, walau tidak mencapai target," ujar Arnold. Seirama dengan kinerja RALS, ACES juga menorehkan performa yang positif dengan pendapatan hingga akhir Juni lalu tumbuh 17% secara
year to year (yoy). Sementara laba bersihnya naik 40%. "Meskipun di tengah pelemahan daya beli, ACES masih bisa mencatatkan penjualan yang positif," beber Arnold. Dalam jangka panjang Christine memproyeksikan, LPPF menjadi emiten yang memiliki risiko gangguan terbesar dengan maraknya
e-commerce. Christine pun menjagokan ACES karena emiten ini dianggap sebagai peritel yang sedikit mendapat pengaruh dari perkembangan
e-commerce yang pesat. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dessy Rosalina