Daya beli tertekan, indeks penjualan riil menurun



JAKARTA. Daya beli masyarakat, terutama kelas menengah Indonesia benar-benar tergerus di ujung tahun ini. Ini terlihat dari survei penjualan eceran yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) untuk bulan Juli dan Agustus 2015.

Rilis terbaru otoritas moneter di Indonesia ini menunjukkan, Indeks Penjualan Riil (IPR) bulanan pada Agustus 2015 diperkirakan bakal minus 6,1% (mtm) dibandingkan bulan Juli 2015 yang tumbuh tipis 4,9% menjadi 197,4.

IPR mencerminkan perkembangan penjualan eceran di Indonesia. Jika hasil IPR tumbuh melambat, bahkan minus, mencerminkan konsumsi masyarakat menurun. Penyebabkan antara lain karena penurunan daya beli.


Pelambatan penjualan eceran pada Agustus 2015, diperkirakan terjadi pada sejumlah kelompok, baik kelompok makanan maupun non makanan. Dibandingkan Juli 2015, penjualan suku cadang dan aksesori akan minus 0,4%. Selain itu pertumbuhan penjualan minus juga terjadi untuk produk makanan, minuman dan tembakau sebesar 7%, juga peralatan informasi dan komunikasi minus 1,4%.

Penurunan penjualan juga terjadi untuk produk perlengkapan rumah tangga sebesar 3,3%, dan sandang dengan pertumbuhan minus 16,3% dibandingkan dengan bulan Juli 2005 (lihat tabel).  

Namun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, penjualan riil pada Juli 2015 dan Agustus 2015 diperkirakan tumbuh masing-masing 4,8% dan 10,6%.

Sedangkan produk yang mengalami pertumbuhan penjualan cukup besar pada Juli 2015 (yoy) adalah makanan, minuman, dan tembakau, juga peralatan informasi dan komunikasi. "Tingginya permintaan menjelang hari raya Idul Fitri lalu menjadi pendorong," tulis BI, Rabu (9/9).

Optimisme turun

Akibat turunnya pertumbuhan penjualan ritel pada Agustus 2015, optimisme para peritel atawa retailer terhadap penjualan eceran pada tiga  bulan mendatang masih menurun. Ini tercermin pada Indeks Ekspektasi Penjualan 3 bulan mendatang yang turun dari 125,3 menjadi 121,5. Dalam 6 bulan mendatang, Indeks Ekspektasi Penjualan pun hanya tumbuh tipis dari 132,7 menjadi 132,9.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede melihat adanya tekanan di penjualan eceran. Lemahnya ekonomi global dan depresiasi rupiah menyebabkan permintaan masyarakat relatif menurun.

Kondisi ini jelas terlihat dari data inflasi inti Agustus 2015 yang berada pada level 4,92% atau di bawah 5%. Laju konsumsi rumah tangga pada triwulan II pun turun ke 4,97% dari triwulan sebelumnya 5,01%. Pasca Lebaran, konsumsi rumah tangga pun masih relatif landai.

Dalam bulan-bulan berikutnya, Josua memprediksi fenomena El Nino panjang akan mempengaruhi tingkat inflasi sehingga membebani penjualan eceran. "Baru pada akhir tahun ada kekuatan baru untuk meningkatkan penjualan," terangnya. Setelah November inflasi kembali normal ke bawah 5% sehingga daya beli masyarakat akan tertolong.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memproyeksi, pertumbuhan ekonomi di triwulan III bisa ke arah 5%, meskipun daya beli masyarakat sedang tertekan. Pertumbuhan ini bisa dicapai dengan catatan belanja pemerintah optimal.

Dia berharap paket kebijakan pemerintah benar-benar bisa menopang daya beli masyarakat. Sebab konsumsi memiliki porsi 56%-57% ke pertumbuhan. Salah satu cara untuk mendorong daya beli adalah menggerakkan industri. "Bagaimana industri padat karya tetap jalan dan tidak ada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)," kata David.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia