JAKARTA. Tingkat inflasi tinggi pada kuartal 1-2015 sebesar 0,17% telah memukul daya beli masyarakat. Secara tidak langsung tingkat inflasi ini mempengaruhi kinerja emiten sektor farmasi. Terlebih lagi dengan nilai tukar rupiah yang terus melemah hingga Rp 13.121 per dollar AS. Analis Mandiri Sekuritas, Herman Koeswanto di dalam riset 15 April 2015 menjelaskan, kinerja emiten di kuartal I-2015 berada di bawah target. Ia menghitung pendapatan rata-rata melambat menjadi 10% yang disebabkan pelambatan volume penjualan dan pelemahan rupiah. Kondisi ini membuat produksi meningkan dan menekan margin laba. Laba emiten di sektor farmasi diperkirakan turun 4,6%. Daya beli masyarakat yang menurun menjadi faktor masyarakat mengurangi pembelian dan memilih produk yang murah. Hal yang sama juga diungkapkan analis Universal Broker, Satrio Utomo. Dia yang menuturkan depreasi rupiah dan dampak inflasi berpotensi menggerus daya beli masyarakat, terutama produsen obat Over The Counter (OTC). “Nilai tukar rupiah yang masih berfluktuasi dan daya beli masyarakat yang menurun pasti akan membawa dampak yang tidak bagus bagi emiten farmasi,” ujar Satrio, akhir minggu lalu. Kendati dihantam fluktuasi rupiah dan pelemahan daya beli masyarakat, analis tetap memproyeksikan emiten di sektor farmasi bisa tumbuh baik pada tahun 2015 ini, baik dari sisi fundamental seperti penjualan dan laba serta harga saham. Pertumbuhan industri ini diperkirakan sebesar 15%. Salah satu emiten sektor farmasi yang dijagokan Satrio untuk tumbuh adalah perusahaan berplat merah, PT Indofarma (Persero) Tbk (INAF). Menurutnya perusahaan milik pemerintah ini akan mendapatkan dampak yang baik dari melemahnya daya beli masyarakat. INAF dikenal memproduksi obat-obatan generik berharga murah. Masyarakat akan cenderung memilih obat yang harganya lebih murah di pasaran. “Kalau daya beli masyarakat menurun, INAF seharusnya diuntungkan karena mereka menjual obat-obatan yang murah. Jadi kondisi ini justru bagus untuk INAF,” jelas Satrio. Meskipun bahan baku untuk memproduksi obat masih didatangkan dari luar negeri dengan menggunakan mata uang dollar dan menjualnya kembali dengan rupiah, Satrio tidak melihat dampak yang terlalu besar terhadap prospek perusahaan. Terlebih lagi dengan program-program kesehatan dari pemerintah yang mulai diimplementasikan tahun ini, berpotensi menumbuhkan pasar obat generik, seperti sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Begitu juga dengan emiten farmasi PT Tempo Scan Pasific Tbk (TSPC) yang diproyeksikan oleh analis dari Mandiri Sekuritas, Vanessa Ariarti Tanuwijaya, perseroan akan memperoleh pertumbuhan nett profit hingga 17,7%. Ia memprediksi angka penjualan produk TSPC akan meningkat mencapai 11,6% dengan kontribusi terbesar dari sektor obat-obatan. Adanya program BPJS dari pemerintah tidak akan berpengaruh banyak karena TSPC sendiri lebih berfokus pada penjualan obat OTC “Penjualan obat OTC menyumbang 80-83% dari total seluruh penjualan produk obat-obatan,”terang Vanessa. TSPC yang baru pertama kali mengeluarkan produk UHT pada kuartal I-2015, Vidoran KIDS with Cod Oil, dipercaya dapat memberikan gross margin yang positif di segmen nutrisi. Kondisi di lapangan mengindikasikan masyarakat menerima dengan baik produk-produk Vidoran.
Daya beli turun, emiten farmasi masih bertahan
JAKARTA. Tingkat inflasi tinggi pada kuartal 1-2015 sebesar 0,17% telah memukul daya beli masyarakat. Secara tidak langsung tingkat inflasi ini mempengaruhi kinerja emiten sektor farmasi. Terlebih lagi dengan nilai tukar rupiah yang terus melemah hingga Rp 13.121 per dollar AS. Analis Mandiri Sekuritas, Herman Koeswanto di dalam riset 15 April 2015 menjelaskan, kinerja emiten di kuartal I-2015 berada di bawah target. Ia menghitung pendapatan rata-rata melambat menjadi 10% yang disebabkan pelambatan volume penjualan dan pelemahan rupiah. Kondisi ini membuat produksi meningkan dan menekan margin laba. Laba emiten di sektor farmasi diperkirakan turun 4,6%. Daya beli masyarakat yang menurun menjadi faktor masyarakat mengurangi pembelian dan memilih produk yang murah. Hal yang sama juga diungkapkan analis Universal Broker, Satrio Utomo. Dia yang menuturkan depreasi rupiah dan dampak inflasi berpotensi menggerus daya beli masyarakat, terutama produsen obat Over The Counter (OTC). “Nilai tukar rupiah yang masih berfluktuasi dan daya beli masyarakat yang menurun pasti akan membawa dampak yang tidak bagus bagi emiten farmasi,” ujar Satrio, akhir minggu lalu. Kendati dihantam fluktuasi rupiah dan pelemahan daya beli masyarakat, analis tetap memproyeksikan emiten di sektor farmasi bisa tumbuh baik pada tahun 2015 ini, baik dari sisi fundamental seperti penjualan dan laba serta harga saham. Pertumbuhan industri ini diperkirakan sebesar 15%. Salah satu emiten sektor farmasi yang dijagokan Satrio untuk tumbuh adalah perusahaan berplat merah, PT Indofarma (Persero) Tbk (INAF). Menurutnya perusahaan milik pemerintah ini akan mendapatkan dampak yang baik dari melemahnya daya beli masyarakat. INAF dikenal memproduksi obat-obatan generik berharga murah. Masyarakat akan cenderung memilih obat yang harganya lebih murah di pasaran. “Kalau daya beli masyarakat menurun, INAF seharusnya diuntungkan karena mereka menjual obat-obatan yang murah. Jadi kondisi ini justru bagus untuk INAF,” jelas Satrio. Meskipun bahan baku untuk memproduksi obat masih didatangkan dari luar negeri dengan menggunakan mata uang dollar dan menjualnya kembali dengan rupiah, Satrio tidak melihat dampak yang terlalu besar terhadap prospek perusahaan. Terlebih lagi dengan program-program kesehatan dari pemerintah yang mulai diimplementasikan tahun ini, berpotensi menumbuhkan pasar obat generik, seperti sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Begitu juga dengan emiten farmasi PT Tempo Scan Pasific Tbk (TSPC) yang diproyeksikan oleh analis dari Mandiri Sekuritas, Vanessa Ariarti Tanuwijaya, perseroan akan memperoleh pertumbuhan nett profit hingga 17,7%. Ia memprediksi angka penjualan produk TSPC akan meningkat mencapai 11,6% dengan kontribusi terbesar dari sektor obat-obatan. Adanya program BPJS dari pemerintah tidak akan berpengaruh banyak karena TSPC sendiri lebih berfokus pada penjualan obat OTC “Penjualan obat OTC menyumbang 80-83% dari total seluruh penjualan produk obat-obatan,”terang Vanessa. TSPC yang baru pertama kali mengeluarkan produk UHT pada kuartal I-2015, Vidoran KIDS with Cod Oil, dipercaya dapat memberikan gross margin yang positif di segmen nutrisi. Kondisi di lapangan mengindikasikan masyarakat menerima dengan baik produk-produk Vidoran.