JAKARTA. Beberapa kendala menghadang permintaan pemerintah daerah (Pemda) penghasil produk perkebunan agar pemerintah pusat mau membagi dana bagi hasil (DBH) di sektor perkebunan. Beberapa perubahan perundang-undangan diperlukan untuk bisa mengabulkan permintaan bagi hasil perkebunan tersebut. Direktur Otonomi Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Himawan Hariyoga mengatakan peraturan yang paling utama untuk di revisi jika memang DBH perkebunan akan diberikan adalah UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan peraturan pemerintah (PP) No.55 tahun 2005 tentang dana perimbangan. "Memang selama ini Bappenas kurang dilibatkan dalam pembahasan, namun agar permintaan itu dikabulkan maka harus ada perubahan UU dan peraturan pelaksanannya," kata Himawan di Jakarta, akhir pekan lalu. Dalam peraturan-peraturan itu pemerintah sudah menetapkan sektor-sektor apa saja yang bisa mendapat bagi hasil. Dari kedua peraturan tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah disebutkan bahwa yang disebut Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. DBH hanya diberikan untuk pajak dan sumber daya alam. DPB pajak bersumber dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan pajak penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21. Sementara untuk DBH Sumber Daya Alam berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan pertambangan panas bumi. Sebelumnya pemerintah provinsi di Sumatera yang wilayahnya memiliki areal perkebunan cukup luas telah mengajukan permintaan dana bagi hasil perkebunan ke pemerintah pusat. Bahkan permintaan itu juga didukung oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Namun sampai saat ini kejelasan mengenai permintaan itu belum juga mendapat respon dari pemerintah pusat.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
DBH Perkebunan Terkendala UU
JAKARTA. Beberapa kendala menghadang permintaan pemerintah daerah (Pemda) penghasil produk perkebunan agar pemerintah pusat mau membagi dana bagi hasil (DBH) di sektor perkebunan. Beberapa perubahan perundang-undangan diperlukan untuk bisa mengabulkan permintaan bagi hasil perkebunan tersebut. Direktur Otonomi Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Himawan Hariyoga mengatakan peraturan yang paling utama untuk di revisi jika memang DBH perkebunan akan diberikan adalah UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan peraturan pemerintah (PP) No.55 tahun 2005 tentang dana perimbangan. "Memang selama ini Bappenas kurang dilibatkan dalam pembahasan, namun agar permintaan itu dikabulkan maka harus ada perubahan UU dan peraturan pelaksanannya," kata Himawan di Jakarta, akhir pekan lalu. Dalam peraturan-peraturan itu pemerintah sudah menetapkan sektor-sektor apa saja yang bisa mendapat bagi hasil. Dari kedua peraturan tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah disebutkan bahwa yang disebut Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. DBH hanya diberikan untuk pajak dan sumber daya alam. DPB pajak bersumber dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan pajak penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21. Sementara untuk DBH Sumber Daya Alam berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan pertambangan panas bumi. Sebelumnya pemerintah provinsi di Sumatera yang wilayahnya memiliki areal perkebunan cukup luas telah mengajukan permintaan dana bagi hasil perkebunan ke pemerintah pusat. Bahkan permintaan itu juga didukung oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Namun sampai saat ini kejelasan mengenai permintaan itu belum juga mendapat respon dari pemerintah pusat.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News