KONTAN.CO.ID - JAKARTA. DBS Chief Investment Office kembali mengeluarkan laporan DBS CIO Insights untuk kuartal III 2020. Laporan yang berjudul Resilient in the storm tersebut memaparkan lima investasi teratas yang menarik pada kuartal ketiga, khususnya memasuki era
new normal. Baca Juga: Berbagi Beban Biaya Krisis, Ini Skema Burden Sharing antara Pemerintah dan BI DBS melihat perubahan besar dalam cara hidup, bekerja dan bermain akibat dari dampak pandemi. Pada kuartal ketiga, grup jasa keuangan yang berbasis di Singapura ini menyoroti peluang di era pasca-pandemi seperti diversifikasi rantai pasokan,
esports yang semakin naik daun dan pertumbuhan investasi hijau yang fokus pada lingkungan, sosial, dan pemerintahan.
"Kami berharap dapat memberikan gambaran peluang dalam memasuki dunia yang saat ini terus berubah,” ujar Hou Wey Fook, Chief Investment Officer, Consumer Banking & Wealth Management Bank DBS, dalam pernyataan resminya, Senin (29/6).
Baca Juga: Harga Batubara Mulai Memanas, Begini Proyeksi ke Depan Berikut ini lima rekomendasi DBS CIO Insights 3Q20 adalah: 1) Merekomendasikan saham dibandingkan obligasi ● Valuasi saham sejalan dengan tren jangka panjang. Meski rasio harga saham terhadap laba perusahaan (P/E ratio) untuk pasar global saat ini terlihat mahal mengingat penurunan laba perusahaan, DBS berpendapat bahwa tidak tepat membandingkan valuasi hari ini dengan sebelumnya mengingat inflasi dan tingkat suku bunga saat ini rendah. Rasio laba terhadap harga saham vs imbal hasil obligasi serta inflasi saat ini tampak sejalan dengan tren jangka panjang. ● Tidak ada keterkaitan antara ekonomi dan PDB. Karena data makro global terus menurun, semakin banyak laporan media (bisnis) mengatakan pelemahan pasar saham berkepanjangan tak terelakkan lagi. Secara intuitif, hal ini tampak logis. Namun, kami berpendapat bahwa kaitan sejarah antara S&P 500 dan perekonomian tidak signifikan. Komposisi sektoral merupakan faktor penentu lebih besar daripada keuntungan pasar dan atas dasar ini, DBS berpendapat bahwa pasar dengan komposisi besar di bidang teknologi (seperti AS) akan memiliki peluang lebih tinggi untuk beranjak naik meskipun data perekonomian terlihat suram.
Baca Juga: Emiten Ramai Menggelar Rights Issue, Tidak Ada Jaminan Saham Baru Terserap Optimal ● FOMO muncul kembali. DBS pertama kali mendukung gagasan bahwa FOMO (“Fear of Missing Out”) atau “takut ketinggalan” menggerakkan aset global berisiko pada Desember 2019 ketika mereka menerbitkan CIO Insights (Pandangan Chief Investment Office) untuk triwulan I 2020. Pandangan DBS cukup tepat karena S&P 500 mencatat kenaikan lebih lanjut sebelum Covid-19 muncul dan memicu aksi jual. Tetapi, harga saham yang bergerak naik dengan cepat sejak akhir Maret menunjukkan FOMO telah kembali dan ini terbukti dengan melihat aliran dana keluar dari saham tidak begitu besar ketika terjadi aksi jual di pasar global. Pasalnya, manajer investasi masih mempertahankan strategi untuk menempatkan investasi pada saham. Berdasarkan data Emerging Portfolio Fund Research (EPFR) Global, sebanyak US$ 33,5 miliar keluar dari saham pada triwulan I 2020. Angka ini 23% lebih rendah daripada rata-rata aliran keluar triwulanan, yang sebesar US$ 43,6 miliar pada tahun 2019, dimana saat itu S&P 500 mencatat kenaikan 29%. "Yang menarik, aset jenis obligasi mencatat arus keluar lebih besar, senilai US$ 107,1 miliar, selama periode ini karena tekanan likuiditas yang lebih berdampak pada aset obligasi," ungkap Fook. ● Akselerasi tren bifurkasi dunia. Gelombang disrupsi telah menyebabkan pergeseran paradigma dalam model bisnis di seluruh dunia. Saat ini, e-commerce telah mengambil alih toko berbentuk fisik sebagai pilihan dalam industri ritel. Robot dan otomatisasi juga telah menggantikan metode manufaktur tradisional di pabrik. Evolusi ini telah berlangsung selama beberapa waktu. Tapi, pandemi telah mempercepatnya. Tidak ada lagi “bisnis seperti biasa” dan perubahan struktural, seperti, dari
offline ke
online, semakin banyak orang bekerja dari rumah dan olahraga tradisional berubah menjadi
e-sports virtual. Teknologi adalah penerima manfaat terbesar pasca-pandemi.
Baca Juga: IHSG melemah tipis, 8 saham LQ45 ini melorot 3 hari berturut 2) Menurunkan porsi obligasi; merekomendasi obligasi AS yang masuk peringkat investasi, memilih obligasi Asia berimbal hasil tinggi ketimbang obligasi global berimbal hasil tinggi.
DBS menyarankan mengurangi porsi obligasi mengingat tingkat bunga mendekati nol hingga negatif secara global. Mengingat pengangguran yang tinggi dan konsumsi yang lemah di negara-negara maju, kebijakan moneter yang akomodatif diperkirakan akan berlanjut sepanjang 2020. DBS memperkirakan imbal hasil surat berharga pemerintah AS bertenor 10 tahun berada di angka 0,95% pada akhir tahun sebelum meningkat pada 2021. Dalam hal kredit, pandangan kami berubah menjadi positif terhadap obligasi AS dengan peringkat investasi (US IG) karena selisih dari credit default rate yang tersirat tidak pantas dalam pandangan kami, mengingat kondisi makro saat ini. Di segmen obligasi berimbal hasil tinggi, kami cenderung memilih obligasi Asia berimbal hasil tinggi ketimbang obligasi global berimbal hasil tinggi mengingat selisih keuntungan menarik di kawasan ini. Prospek menjanjikan Indonesia, baca di halaman berikutnya >>
Editor: Sandy Baskoro