JAKARTA. Belasan perusahaan aspal nasional ramai-ramai mengajukan perlawanan atas permohonan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) yang akan menyita jaminan. Para kreditur beralasan masih punya niat membayar utang, tapi mereka butuh restrukturisasi. Perusahaan aspal itu antara lain PT Citra Aspalindo Sriwijaya, PT Bumi Aspalindo Aceh, PT Sarana Aspalindo Padang, PT Perintis Aspalindo Curah, dan PT Medan Aspalindo Utama. Kelima perusahaan ini keberatan dengan permohonan sita jaminan oleh BNI terhadap aset tanah yang menjadi agunan kredit. Asetnya berupa dua tanah di Pandeglang, Banten masing-masing seluas 7.822 meter persegi (m²) dan 5.852 m² atas nama Hajjah Zalinar. Lalu PT Lamindo Sakti Trading Company dan enam anak usahanya juga mengajukan penundaan eksekusi dua lahan di daerah Gunung Sahari, Jakarta, atas nama Srie Rahayu. Permasalahan ini berawal saat perusahaan mendapatkan kredit dari BNI tahun 1990-an. Khusus untuk kelima perusahaan yang menjaminkan aset tanah di Banten, total nilai pinjaman awal sebesar US$ 4,23 juta atau Rp 12,67 miliar dengan kurs rupiah saat itu. "Tapi, ada krisis moneter 1997 yang menyebabkan nilai utang jatuh tempo tahun 1998 membengkak menjadi Rp 35,9 miliar," jelas G. Nyoman T. Rae, pengacara kelima perusahaan, Kamis (19/6).
Debitur tolak eksekusi sita jaminan
JAKARTA. Belasan perusahaan aspal nasional ramai-ramai mengajukan perlawanan atas permohonan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) yang akan menyita jaminan. Para kreditur beralasan masih punya niat membayar utang, tapi mereka butuh restrukturisasi. Perusahaan aspal itu antara lain PT Citra Aspalindo Sriwijaya, PT Bumi Aspalindo Aceh, PT Sarana Aspalindo Padang, PT Perintis Aspalindo Curah, dan PT Medan Aspalindo Utama. Kelima perusahaan ini keberatan dengan permohonan sita jaminan oleh BNI terhadap aset tanah yang menjadi agunan kredit. Asetnya berupa dua tanah di Pandeglang, Banten masing-masing seluas 7.822 meter persegi (m²) dan 5.852 m² atas nama Hajjah Zalinar. Lalu PT Lamindo Sakti Trading Company dan enam anak usahanya juga mengajukan penundaan eksekusi dua lahan di daerah Gunung Sahari, Jakarta, atas nama Srie Rahayu. Permasalahan ini berawal saat perusahaan mendapatkan kredit dari BNI tahun 1990-an. Khusus untuk kelima perusahaan yang menjaminkan aset tanah di Banten, total nilai pinjaman awal sebesar US$ 4,23 juta atau Rp 12,67 miliar dengan kurs rupiah saat itu. "Tapi, ada krisis moneter 1997 yang menyebabkan nilai utang jatuh tempo tahun 1998 membengkak menjadi Rp 35,9 miliar," jelas G. Nyoman T. Rae, pengacara kelima perusahaan, Kamis (19/6).