DeXa Medica rilis riset kurangi ketergantungan metformin untuk penderita diabetes



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Dexa Laboratories Biomolecular Sciences (DLBS), lembaga penelitian dari PT Dexa Medica, mengeluarkan riset penemuan obat diabetes yang memanfaatkan tanaman Lagerstroemia speciosa (bungur) dan Cinnamomum burmannii (kayu manis). Penelitian yang dikenal dengan nama DLBS 3233 ini, telah dilakukan sejak tahun 2005 oleh ilmuwan Indonesia di DLBS. Khasiat dari tanaman tersebut adalah, berfungsi menjadi obat untuk menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi ketergantungan bahan baku Metformin.

Baca Juga: Dexa Medica luncurkan obat batuk herbal perdana "Ketergantungan terhadap bahan baku obat impor atau Metformin ini, dapat dikurangi melalui riset farmatologi. Riset ini menggunakan tanaman dan hewan sebagai obat, dengan memanfaatkan keragaman hayati yang menjadi warisan nenek moyang kita,” jelas Executive Director Dexa Laboratories Biomolecular Sciences (DLBS) PT Dexa Medica, Raymond Tjandrawinata dalam siaran persnya, Rabu (27/11). Lebih lanjut, Raymond melakukan penelitian multicenter, yakni penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh para dokter ahli, di dua pusat wilayah yakni area pertama di area Jakarta dan Bandung sedangkan area kedua adalah Surabaya dan Indonesia Timur. Penelitian dilakukan selama enam bulan membagi pasien menjadi dua dengan jumlah 62 orang pasien masing-masing diberikan Inlacin 100 mg sekali sehari dan Metformin 750 mg dua kali sehari. Hasil dari penelitian ini diperoleh Inlacin dan Metformin XR signifikan memberikan perbaikan resistensi insulin dalam subyek SOPK dalam terapi 3 dan 6 bulan. Selain itu, Inlacin menunjukkan efek samping lebih rendah daripada Metformin. Fokus penelitian multicenter ini adalah terapi Inlacin, Metformin, dan kombinasi Inlacin dan Metformin untuk pasien SOPK yang mengalami resistensi insulin. "Penggunaan Inlacin untuk pasien diabetes maupun SOPK akan membantu pemerintah mengurangi ketergantungan impor bahan baku obat," lanjutnya. Sebagai informasi, Indonesia memiliki 26 produk obat bersertifikat Fitofarmaka, salah satunya produk diabetes yang telah diekspor ke beberapa pasar di Asia Tenggara seperti Kamboja dan Filipina.

Baca Juga: Obat herbal juga bisa mujarab seperti obat kimia Impor bahan baku obat yang tidak bisa dibendung memiliki dampak ekonomi terhadap hilangnya devisa negara. Pada tahun 2012 saja, Kementerian Perindustrian memperkirakan nilai impor bahan baku obat mencapai Rp 11,4 triliun, yang naik sebesar 8,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Impor bahan baku terbanyak saat ini berasal dari Tiongkok, India, dan kawasan Eropa. Tiongkok masih menjadi negara sumber pemasok terbesar kebutuhan bahan baku obat Indonesia, yakni mencapai Rp 6,84 triliun, yang disusul India Rp 3,42 triliun, dan Eropa Rp 1,4 triliun. Tingginya ketergantungan impor bahan baku obat ini akibat tidak kuatnya industri kimia dasar di Indonesia. Kurangnya daya saing dan tingginya biaya dalam pengembangan industri kimia dasar menjadi faktor penyebab. Jika industri kimia dasar hanya mengandalkan pasar farmasi nasional, kebutuhannya masih relatif kecil, hanya 0,3% hingga 0,4% dari pasar farmasi dunia. Kondisi ini tidak menguntungkan bagi industri kimia dasar dan harus mencari pasar ekspor yang saat ini sudah didominasi oleh Tiongkok, India, dan negara Eropa lainnya. "Volume penggunaan obat herbal dengan khasiat yang terjamin akan meningkat jika obat herbal tersebut masuk dalam formularium nasional yang dapat diresepkan kepada pasien peserta BPJS. Apabila hal ini terjadi, maka nilai tambah didapatkan dari hulu—yaitu petani penanam tumbuhan obat, sampai ke hilir—yaitu pasien yang diresepkan obat tersebut dan daya saing obat-obatan produksi dalam negeri akan meningkat," ujar Raymond.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini