Deden merintis usaha berbekal dua peralatan batik sederhana (2)



Deden Supriyadi mulai mengenal kerajinan batik dari orang tuanya sejak kecil. Di bawah bendera usaha Asep Batik, orang tua Deden membuat aneka motif batik khas Tasikmalaya. Namun, Deden baru bersentuhan langsung dengan batik pertama kali sejak lulus sekolah menengah atas (SMA) pada 1987.Saat itu, Deden diminta membantu memasarkan produksi batik. Kebetulan, saat itu orang tuanya sudah memiliki toko batik di Garut, Jawa Barat. "Nah, saya diminta untuk mengurus toko itu," kata Deden.Selama 13 tahun ia mengelola toko tersebut. Ketika bapaknya meninggal di tahun 2.000, Deden terpaksa kembali ke Tasik untuk mengurus usaha pembuatan batik yang telah dirintis sejak tahun 1945. Toko batik di Garut dijual. "Hasilnya untuk dibagi-bagikan kepada saudara," kenang Deden.Sepeninggalnya bapaknya, usaha pembuatan batik semakin meredup. Aset yang masih tersisa hanya dua buah peralatan batik sederhana, empat orang karyawan, serta uang tunai Rp 3 juta. Dalam kondisi yang serba-terbatas itu, ia nekat membangun kembali usaha pembuatan batik tersebut, dengan bendera baru bernama Deden Batik. Untuk modal usaha, ia mendapat pinjaman dari seorang teman dengan sistem bagi hasil. Dalam waktu singkat, Deden Batik sudah mampu berkibar. Usahanya berkembang cukup pesat. Pesanan besar, pertama kali datang dari Pemda Garut yang meminta dibuatkan seragam batik bagi pegawai negeri sipil (PNS) di daerah tersebut. Dari pesanan itu, Deden bahkan dapat membeli satu unit rumah.Pada 2003, bapak dua anak ini mencoba mengembangkan usahanya dengan memproduksi busana muslim. Untuk bahan pakaian, ia dapatkan dari seorang produsen tekstil dengan sistem pembayaran di belakang (utang).Saat itu, ia mendapat bahan pakaian dengan nilai barang mencapai Rp 300 juta. Deden lalu memasarkan busana muslim ke sejumlah pasar di daerah Tasikmalaya. Sekitar 100 pedagang pakaian bersedia bekerja sama dengannya untuk menjual produk tersebut. Kerja sama dengan pedagang itu memakai sistem kredit.Berjalan dua tahun, usaha dalam bentuk kredit kepada pedagang berjalan lancar dan dapat menambah omzet Deden Batik hingga puluhan juta rupiah. Tapi, seiring berjalannya waktu, cicilan pembayaran dari para pedagang mulai tersendat. Pasalnya, mereka juga menawarkan sistem kredit kepada pembeli. Karena kredit macet itu, ia juga tidak dapat membayar utang kepada produsen tekstil yang menjadi mitra kerjanya. "Utang saya lebih dari Rp 400 juta," katanya.Terlilit utang ratusan juta, sempat membuat Deden kelimpungan. Sebab, pakaian yang sudah telanjur dipasarkan ke pedagang susah bisa ditarik kembali, padahal utang harus segera dilunasi. Demi menutup utang, Deden akhirnya menjual rumahnya seharga Rp 160 juta. Sementara itu, sisa utang dibayarnya secara mencicil.Uang yang diperoleh dari menjual rumah, tidak semuanya digunakan untuk membayar utang. Sebagian dipakai buat menambah modal usaha. "Kali ini saya hanya fokus ke batik, sepertinya saya memang cocok di situ," ujarnya. (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Adi