Defisit APBN 2025 Melebar, Dibebani Utang dan Keberlanjutan Program Jokowi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah kembali melebarkan target defisit fiskal dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 setelah tiga tahun terakhir menerapkan disiplin fiskal yang sangat ketat.

Pasalnya, defisit RAPBN 2025 ditetapkan pada kisaran 2,45% hingga 2,82% dari produk domestik bruto (PDB). Padahal pada tahun 2024 defisit dipatok hanya 2,29% dari PDB dan pada tahun 2023 sebesar 1,82% dari PDB.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan, defisit yang melebar tersebut dikarenakan adanya keberlanjutan sehingga program-program Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga dilanjutkan oleh pemerintahan selanjutnya.


Baca Juga: Anggota DPR Kritisi Defisit APBN 2025, Tertinggi Sepanjang Transisi Pemerintahan

"Tematiknya presiden terpilih mengusung tema keberlanjutan," ujar Suharso kepada awak media di DPR RI,  Selasa (4/6).

Namun, kata Suharso, apabila APBN 2024 yang telah disusun tidak sesuai, maka pemerintahan yang baru bisa mengajukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P).

"Kalau memang dirasa bahwa APBN-nya tidak sesuai untuk pembangunan, silahkan dilakukan APBN-P. tidak ada masalah, itu bukan sesuatu yang dipertikaikan. APBN-P sesuatu yang wajar," katanya.

Selain itu, defisit yang dipatok melebar juga dipengaruhi oleh pembayaran bunga utang yang terus meningkat. 

Maklum, berdasarkan catatan KONTAN, realisasi pembayaran bunga utang hingga Februari 2024 telah mencapai Rp 69 triliun. Realisasi ini meningkat 37% dari periode sama tahun lalu.

"Ada pembayaran bunga (utang) yang meningkat. Ini yang memang di stream line lagi kira-kira ke depan itu kalau mau melakukan belanja dengan sumber utang, sebaiknya belanja modal itu reveneu base. Artinya dia bisa secara finance membayar kembali utang-utang itu," katanya.

Selama ini, porsi pembayaran utang tidak diikuti dengan kenaikan alokasi belanja modal. Padahal, kata Suharso, belanja modal merupakan capital expenditure yang bisa menghasilkan penerimaan untuk negara.

Baca Juga: Pasar Panik, Rp 383 Triliun Menguap dari Bursa

"Bappenas sedang berpikir, kita akan masukkan itu ke dalam investasi pemerintah. Kalau itu caranya, mudah-mudahan kita akan punya ruang fiskal yang lebih luas," imbuh Suharso.

Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky sependapat bahwa target defisit pada tahun depan memang lebih besar dibandingkan tahun ini, padahal ruang fiskal yang tersisa tidak banyak.

Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan kualitas dan efisiensi belanja sembari mendorong dari sisi penerimaan negara.

"Tidak ada angka ideal untuk defisit harus berapa, selama dia di bawah 3% dari PDB dan berkualitas maka itu sudah baik," kata Riefky.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi