KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setiap awal tahun selalu ada aktivitas rutin yang bikin repot pemerintah dari sisi anggaran. Pasalnya, setiap lonceng tahun baru berdentang, Kementerian Keuangan (Kemkeu) langsung bergegas mencari siasat guna menutup defisit anggaran yang sudah di depan mata. Maklumlah, sejak awal disusun, pemerintah sudah mematok besaran defisit di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020. Nah, untuk tahun ini pemerintah menetapkan target defisit anggaran 2020 sebesar Rp 307,2 triliun atau 1,76% dari produk domestik bruto (PDB). Asumsi defisit itu diperoleh dari selisih antara penerimaan dikurangi belanja negara. Asal tahu saja, tahun ini pemerintah menargetkan penerimaan di APBN 2020 sebesar Rp 2.233,2 triliun. Sementara belanja negara sebesar Rp 2.540,4 triliun.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, jurus andalan pemerintah dalam menutup defisit selalu bersumber dari utang. Terbukti, di awal tahun ini pemerintah langsung menggeber penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) alias front loading. Luky Alfirman, Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemkeu mengatakan, awal tahun ini merupakan saat yang tepat untuk menerbitkan surat utang global. "Karena memang kondisi pasar masih bagus," kata Luky. Maka itu, dalam tiga bulan pertama tahun ini saja, DJPPR Kemkeu bakal menerbitkan SBN sebayak 13 kali. Perinciannya, Surat Perbendaharaan Negara (SPN) Konvensional dan Syariah (SPNS), Surat Utang Negara (SUN) dan Project-based Sukuk (PBS) dengan total target mencapai Rp 165,5 triliun. Adapun total target penarikan utang sepanjang tahun ini sebesar Rp 786,92 triliun lewat penerbitan surat berharga negara (SBN) dan penarikan pinjaman. Perinciannya: penerbitan utang baru Rp 351,9 triliun dan Rp 435,02 triliun utang jatuh tempo. Selain itu, Rp 48,4 triliun merupakan penerbitan pinjaman luar negeri (bruto) dan Rp 3 triliun sisanya ialah penerbitan pinjaman dalam negeri (bruto). Terdiri dari rencana penarikan pinjaman dalam negeri baru Rp 1,3 triliun dan pembayaran cicilan pokok pinjaman dalam negeri Rp 1,7 triliun. Dengan tambahan utang itu, pemerintah memperkirakan, rasio utang terhadap PDB Indonesia tahun 2020 berkisar 29,4%-30,1%. Batas atas perkiraan pemerintah ini lebih tinggi dari posisi akhir 2019 sebesar 29,8% dari PDB. Tahun lalu, pemerintah menambah utang baru Rp 359,7 triliun. Alhasil, outstanding utang pemerintah mencapai Rp 4.778 triliun. "Rasio utang Indonesia tetap terjaga di 30% terhadap PDB yang relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara emerging market lainnya, kita masih cukup hati-hati," kata Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan. Defisit keseimbangan primer Ironisnya, penarikan utang baru tersebut tidak dipakai buat belanja produktif. Alokasi anggaran buat belanja bunga utang 2020 yang mencapai Rp 295,2 triliun atau 21% dari pos belanja APBN 2020 sudah dengan sendirinya menjelaskan hal ini. Karena itulah, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengingatkan agar pemerintah lebih berhati-hati mengelola utang yang semakin memberatkan. Ia mencontohkan pembayaran bunga utang terhadap belanja pemerintah pusat pada 2014 masih 11%. Namun, tahun 2019, rasionya melonjak menjadi 20%. "Dibandingkan dengan belanja pegawai, pembayaran bunga utang merupakan belanja yang tidak produktif. Makanya pemerintah harus antisipasi," kata Yusuf. Berdasarkan Nota Keuangan, sepanjang periode tahun 2015–2019, pembayaran bunga utang meningkat dari Rp 156,01 triliun menjadi Rp 276,11 triliun pada outlook APBN tahun 2019. Peningkatan bunga utang terjadi seiring dengan kenaikan outstanding utang. Selain itu, nilai pembayaran bunga utang pemerintah tahun ini juga makin mendekati nilai pembiayaan utang yang sebesar Rp 351,9 triliun. Artinya, pemerintah berutang hanya untuk membayar bunga utang. Kondisi itu tidak terlepas dari defisit anggaran yang masih berpotensi melebar di tahun ini. Apalagi perkiraan penerimaan negara tahun ini masih sulit lantaran perekonomian belum pulih. Seperti diketahui, pemerintah menetapkan target penerimaan pajak dalam APBN 2020 sebesar Rp 1.642 triliun. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, untuk mencapai target itu, pertumbuhan penerimaan perlu meningkat sebesar 23,3% dari realisasi 2019 yang sebesar Rp 1.332 triliun. "Target itu sulit direalisasikan," katanya. Padahal belanja negara tak bisa dikurangi. Apalagi, belanja rutin untuk belanja pegawai yang mencapai Rp 416,2 triliun, atau naik 9% ketimbang 2019 sebesar Rp 381,56 triliun. Yustinus memprediksi, kinerja penerimaan pajak pada 2020 tidak akan banyak berubah dibandingkan tahun lalu. Seperti diketahui, tahun lalu terjadi shortfall pajak sebesar Rp 245 triliun atau meleset Rp 105 triliun dari outlook pemerintah sebesar Rp 140 triliun. Sementara itu, realisasi belanja sampai periode yang sama mencapai 93,9% dari pagu sebesar Rp 2.461,1 triliun. Konsekuensinya, defisit APBN 2019 menyundul Rp 353 triliun atau 2,2% dari PDB, jauh melampaui target awal yang hanya 1,84%. Lebih miris lagi, keseimbangan primer , yakni total penerimaan dikurangi belanja di luar pembayaran bunga utang, juga defisit sebesar Rp 77,5 triliun atau melejit 385,3% dari target. Dengan kinerja penerimaan pajak 2020 yang diprediksi tidak akan banyak berubah dari tahun lalu, maka potensi pembengkakan defisit keseimbangan primer tahun ini patut diwaspadai. Menilik APBN 2020, keseimbangan primer masih dipatok defisit sebesar Rp 12 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan realisasi tahun 2019. Sementara dalam Narasi Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, target keseimbangan primer menuju positif dengan rerata 0,1%-0,3% dari PDB. Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengelolaan Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kemkeu Riko Amir menjelaskan, dalam jangka pendek, pengendalian keseimbangan primer bisa dilakukan melalui efisiensi belanja. "Antara lain melalui optimalisasi pembiayaan kreatif seperti KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha) dan blended finance, optimalisasi barang milik negara (BMN) sebagai pengganti belanja negara, serta penguatan value for money untuk belanja modal di APBN," katanya. Tanpa pertimbangan Sementara strategi jangka panjang untuk mengarahkan keseimbangan primer menuju surplus, dengan menurunkan defisit dan mendorong peningkatan penerimaan. "Menguatkan sistem perpajakan, juga optimalisasi penerimaan dari sektor sumber daya alam," tambahnya. Dilihat dari pendekatan yang diambil, pemerintah tampaknya menghindari opsi pemotongan belanja. Pengalaman pemotongan belanja negara pada 2016 membuat pertumbuhan ekonomi ikut terkoreksi. Tak heran, bila pemerintah tetap menjadikan APBN sebagai katalisator pertumbuhan di tengah situasi ekonomi global dan domestik yang sedang mengalami gejala stagnasi. Ekonom Indef Dzulfian Syafrian menilai, pemerintah akan kesulitan mencapai target keseimbangan primer. Pasalnya, upaya pemerintah mengoptimalisasi pembiayaan dengan skema KPBU sulit dilakukan, karena banyak investor yang kurang tertarik dengan proyek pemerintah. Kondisi itu dipicu banyaknya proyek yang tidak melalui perhitungan matang dan bahkan terkesan dipaksakan, sehingga dianggap kurang menguntungkan secara bisnis. ”Hal ini didorong oleh ambisi Jokowi yang hendak membangun infrastruktur sana-sini,” ujarnya. Akhirnya, pemerintah mendanai sendiri proyek-proyek itu melalui utang. Padahal, kata dia, guna menurunkan defisit keseimbangan primer, opsi yang paling memungkinkan adalah mengurangi utang. Opsi lain adalah menekan beban pembayaran bunga utang. Menurut Yusuf, pemerintah perlu menyisir kembali utang yang sudah dilakukan sebelumnya. Bila dimungkinkan, pemerintah bisa mengganti SBN yang memiliki imbal hasil tinggi dengan SBN imbal hasil rendah. ”Hal ini bisa dilakukan dengan skema debt-swap,” ujarnya. Menurut dia, langkah itu perlu dilakukan ditengah rasio utang yang terus meningkat. Di mana semakin tinggi DSR maka beban utang luar negeri semakin besar. ”Kenaikan DSR juga tidak terlepas dari menurunnya kinerja ekspor, maka itu pemerintah juga harus bisa menggenjot ekspor,” ujarnya.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara berpendapat, pemerintah sebaiknya mempercepat pembiayaan utang alternatif untuk mengurangi beban utang jatuh tempo. Contoh, pinjaman lunak dengan bunga di bawah SBN serta pinjaman bilateral. Selama ini, bunga pinjaman terlalu mahal karena porsi SBN terlampau besar, mencapai 80% dari total utang pemerintah. Meski begitu, ia mengakui, penerbitan SBN adalah cara tercepat bagi pemerintah mendapatkan utang. "Tapi, harus dikurangi," katanya. Nampaknya, memang tidak mudah menjaga defisit di tengah perekonomian yang sedang kalang kabut. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri