Defisit daerah dipangkas agar tak langgar aturan



KONTAN.CO.ID - BOGOR. Otak-atik kebijakan menjadi solusi pemerintah mencegah pelebaran defisit anggaran tahun ini. Hal itu dilakukan karena Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara membatasi besaran defisit anggaran pemerintah pusat dan daerah maksimal 3% dari produk domestik bruto. Sedangkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2017 dipatok 2,92% terhadap PDB.

Agar tidak melanggar undang-undang, Kementerian Keuangan (Kemkeu) mempersempit batas maksimal total defisit anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tahun ini menjadi 0,08% dari PDB. Ketentuan tersebut akan tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang rencananya terbit dalam waktu dekat.

PMK itu merevisi PMK Nomor 132/PMK.07/2016 yang mengatur batas maksimal total defisit anggaran APBD tahun 2017 sebesar 0,3% dari PDB. Dengan demikian, jika pemerintah terpaksa memaksimalkan defisit anggaran sesuai alokasi APBN Perubahan 2017, maka tak terjadi pelanggaran UU Keuangan Negara.Mengingat, hingga pertengahan November lalu, realisasi defisit anggaran sudah bertengger di level 2,2%.


Direktur Jenderal (Dirjen) Perimbangan Keuangan Kemenkeu Boediarso Teguh Widodo menjelaskan, batasan defisit APBD di PMK baru akan berlaku sama di seluruh daerah. Dalam PMK lama, batas maksimal defisit APBD 2017 berbeda-beda sesuai kapasitas fiskal daerahnya. Untuk daerah dengan kapasitas fiskal sangat tinggi, defisit anggaran dipatok maksimal 5,25% dari perkiraan pendapatan daerah tahun 2017.

Sedang untuk daerah dengan kapasitas fiskal tinggi, defisit anggaran maksimal 4,25% dari perkiraan pendapatan daerah 2017, daerah dengan kapasitas fiskal sedang sebesar 3,25%, dan daerah dengan kapasitas fiskal rendah sebesar 2,5%. "Itu tidak kami berlakukan lagi," kata Boediarso, Selasa (12/12).

Boediarso menjelaskan, realisasi defisit anggaran APBD selama ini memang rendah. Hingga semester I-2017, realisasi defisit APBD yang dibiayai dari pinjaman daerah hanya Rp 0,21 triliun. Jumlah itu hanya 0,0015% dari PDB. Dengan demikian, pemangkasan batas defisit APBD tidak akan berdampak negatif bagi keuangan daerah.

Anggaran konservatif

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng berpendapat, perubahan kebijakan ini hal biasa. Perubahan defisit anggaran daerah memang selalu menyesuaikan kondisi keuangan pemerintah pusat. "Penyempitan defisit tidak akan berpengaruh ke daerah," jelas Robert.

Hal ini juga didukung profil anggaran daerah yang tidak ekspansif. Selama ini pemda cenderung konservatif membangun daerah. Dana pembangunan hanya dialokasikan sedikit dari APBD, tanpa menggali sumber lain. "Sumber lain tidak ada," katanya.

Padahal sumber pembangunan daerah tidak hanya fiskal APBD saja. Pemda bisa memanfaatkan skema Kemitraan Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), pembiayaan dari Sarana Multi Infrastruktur, investasi swasta, hingga corporate social responsibility (CSR). "Pemda kita tidak kreatif, hanya menguber APBD saja. Selama hal ini dipertahankan, ke depan tidak ada terobosan dari daerah," jelas Robert.

Sisa Anggaran Rp 100 triliun

Kekhawatiran pembengkakan defisit anggaran tidak selaras dengan realisasi pemakaian APBN tahun ini. Ini terindikasi dari pos Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) dalam APBN Perubahan 2017 yang mencapai Rp 98,5 triliun, hingga pekan kedua November lalu.

Ini berarti, pembiayaan yang telah direalisasikan belum optimal lantaran belum sepenuhnya terpakai. Padahal, ada ongkos dari setiap pembiayan, utamanya bunga utang.

SILPA tersebut berasal dari realisasi pembiayaan anggaran sebesar Rp 398,3 triliun atau 100,28% dari target dalam APBN-P 2017. Sementara realisasi defisit anggarannya baru mencapai Rp 299,8 triliun atau 2,22% dari PDB. "Sehingga masih ada SILPA sekitar Rp 100 triliun," kata Direktur Penyusunan APBN Kemkeu, Kunta Wibawa, Selasa (12/12).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia