Defisit neraca dagang bisa menekan indeks



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam beberapa bulan ke depan diprediksi masih akan dibayangi oleh sentimen yang berasal dari semakin lemahnya rupiah. Dalam data yang dihimpun Kontan.co.id lewat RTI, rupiah di pasar sempat mencatatkan nilai paling rendah di level Rp 13.946 per dollar Amerika Serikat dengan level tertingginya di Rp 13.780.

William Siregar, Analis Paramitra Alfa Sekuritas menilai lemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang paman Sam tersebut tak semata-mata hanya dipengaruhi oleh rencana The Federal reserve (The Fed) untuk menaikkan suku bunganya hingga 3 sampai 4 kali tahun ini.

"Adanya defisit neraca perdagangan yang menyebabkan impor lebih besar ketimbang ekspor menjadi sentimen buruk bagi rupiah," kata William, Minggu (22/4).  William menilai, defisit neraca perdagangan ini terjadi lantaran perhelatan besar Asian Games yang akan digelar pada Agustus mendatang.


Perhelatan tersebut memerlukan infrastruktur yang besar sehingga impor membengkak. Menurut William investor memiliki ekspektasi negatif terhadap hal tersebut dan mulai melakukan upaya antisipasi karena tekanan berkelanjutan yang mungkin terjadi dalam beberapa waktu yang akan datang.

William memprediksi apabila defisit neraca perdagangan masih terjadi hingga Juni yang akan datang, maka bukan tidak mungkin rupiah bisa menyentuh angka Rp 14.000 per dollar Amerika Serikat. Apalagi dengan gelaran Asian Games yang masih terjadi di bulan Agustus yang akan datang.

Namun investor tak lantas musti menjauhi pasar. Peluang-peluang bisa diperoleh dari emiten-emiten yang bergerak di bidang batubara lantaran perusahaan ini merupakan perusahaan yang melakukan ekspor sehingga keuntungan akan lebih besar dengan nilai ekspor yang lebih besar.

Meski demikian, dengan perlemahan rupiah ini, William menyarankan untuk berhati-hati memilih emiten yang memiliki utang dollar yang tinggi. Perlu bagi emiten untuk melakukan hedging terhadap utang luar negerinya tersebut. "Strategi hedging menjadi sangat penting bagi emiten," kata William.

Selain itu, secara umum, William menyarankan untuk menghindari emiten-emiten dengan Debt to Equity Ratio (DER) di atas 1.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi