JAKARTA. Setelah berhasil menguat selama dua hari terakhir, rupiah kembali tak bertenaga. Pelemahan rupiah terjadi paska rilis data defisit neraca perdagangan Juli yang mencapai rekor tertingginya. Berdasarkan catatan Bloomberg, pada pukul 13.19 WIB, rupiah di pasar spot melemah 0,2% menjadi 10.940 per dollar AS. Angka di pasar spot ini lebih premium 5,2% dibanding posisi rupiah di pasar non deliverable forwards (NDF). Asal tahu saja, posisi mata uang garuda di pasar NDF untuk pengantaran satu bulan melemah 0,7% menjadi 11.514 per dollar AS. Menurut penghitungan Badan Pusat Statistik (BPS), defisit neraca perdagangan di bulan Juli mencapai US$ 2,31 miliar, dengan nilai ekspor di periode tersebut sebesar US$ 15,11 miliar dan nilai impor US$ 17,42 miliar."Pelaku pasar cukup terkejut dengan data defisit neraca perdagangan Indonesia. Ini merupakan hasil dari pertumbuhan Indonesia yang kuat ditambah dengan ketergantungan pada impor barang modal. Di sisi lain, harga komoditas tetap lemah," jelas Eric Alexander Sugandi, ekonom Standard Chartered Plc kepada Bloomberg. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Defisit neraca Juli rekor, rupiah terkulai
JAKARTA. Setelah berhasil menguat selama dua hari terakhir, rupiah kembali tak bertenaga. Pelemahan rupiah terjadi paska rilis data defisit neraca perdagangan Juli yang mencapai rekor tertingginya. Berdasarkan catatan Bloomberg, pada pukul 13.19 WIB, rupiah di pasar spot melemah 0,2% menjadi 10.940 per dollar AS. Angka di pasar spot ini lebih premium 5,2% dibanding posisi rupiah di pasar non deliverable forwards (NDF). Asal tahu saja, posisi mata uang garuda di pasar NDF untuk pengantaran satu bulan melemah 0,7% menjadi 11.514 per dollar AS. Menurut penghitungan Badan Pusat Statistik (BPS), defisit neraca perdagangan di bulan Juli mencapai US$ 2,31 miliar, dengan nilai ekspor di periode tersebut sebesar US$ 15,11 miliar dan nilai impor US$ 17,42 miliar."Pelaku pasar cukup terkejut dengan data defisit neraca perdagangan Indonesia. Ini merupakan hasil dari pertumbuhan Indonesia yang kuat ditambah dengan ketergantungan pada impor barang modal. Di sisi lain, harga komoditas tetap lemah," jelas Eric Alexander Sugandi, ekonom Standard Chartered Plc kepada Bloomberg. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
