Defisit transaksi berjalan bisa jadi momentum buy on weakness



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hingga kuartal II transaksi berjalan Indonesia masih tercatat defisit sebesar 3% dari total produk domestik bruto (PDB) atau sebesar US$ 8 miliar. Angka tersebut mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan kuartal I 2018 sebesar 2,2% atau sebesar US$ 5,7 miliar.

Alhasil, kondisi ini menimbulkan kekawatiran tersendiri bagi para investor asing yang menanamkan uang mereka di Indonesia. Benar saja, jika melihat data Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di RTI, net sell asing tercatat cukup besar mencapai Rp 52,64 triliun secara year to date (ytd).

Melihat kondisi ini, Hans Kwee, Direktur Investa Saran MandirI mengatakan, defisit transaksi berjalan ini menjadi salah satu sentimen negatif yang mendara pasar dalam negeri. Pun, ini menjadi tekanan sendiri bagi pemerintah karena harus menutupnya dengan direct invesment serta portfolio.


“Memang ini masalah struktural karena ekspor kebanyakan di barang komoditas dan impor kita di bahan baku dan barang modal,” ujar Hans kepada Kontan.co.id, Jumat (7/9).

Kendati demikian menurut Hans ini merupakan sebuah pertanda baik bagi ekonomi Indonesia. Defisit ini menandakan banyaknya belanja bahan baku dan modal yang dilakukan yang juga menunjukan bahwa ekonomi kita sedang tumbuh.

Hal ini akan direspons positif oleh pasar. Asing juga akan melihat potensi Indonesia ke depannya. “Pasar bakal fluktuasi namun prospek di Indoensia masih bagus dan di kondisi pelemahan pasar ini harus dimanfaatkan untuk masuk di level murah. Karena gejolak ini bersifat jangka pendek. Seperti perang dagang dan suku bunga bersifat sementara,” ujar Hans.

Di sisi lain fundamental ekonomi Indonesia masih sangat baik seperti dari data inflasi yang rendah. Menurut Hans kemungkinan net growth ekonomi dunia akan berada di Indonesia dan membuat asing akan kembali menyimpan dana di Indonesia.

Tercatat inflasi secara tahunan di akhir bulan Agustus 2018 berada pada posisi 3,24%. Sedangkan, Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan Agustus 2018 tercatat deflasi 0,05% secara bulanan.

“Komoditas akan kuat seperti CPO dari penguatan kebijakan B20, batubara, serta saham timah akan baik. SRIL juga karena ekspor mereka besar,” ujar Hans.

Senada, Kiswoyo Adi Joe Kepala Riset PT Narada Asset Management pun mengatakan ini bisa dimanfaatkan untuk mulai masuk ke saham Indonesia berkapitalisasi besar. “Saham sudah mulai di harga murah. Bisa beli saham penggerah IHSG seperti BBRI, BBNI, TLKM, UNVR, ASII, BMRI dan BBCA,” ujar Kiswoyo.

Adapun taget harga jangka panjang yang ditetapkan Kiswoyo untuk saham berkapitalisasi besar yakni, BBRI Rp 4.000, BBNI Rp 10.000, TLKM Rp 5.000, UNVR Rp 50.000, ASII Rp 8.500, BBCA Rp 25.000 dan BMRI Rp 8.000.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati