Defisit Transaksi Berjalan Kuartal II Masih Lebar



JAKARTA. Meski neraca perdagangan pada Mei 2014 sudah mencatatkan surplus US$ 69,9 juta, namun kondisi ini belum banyak membantu kinerja neraca transaksi berjalan. Karenanya, Bank Indonesia (BI) memperkirakan transaksi berjalan pada kuartal II-2014 akan defisit sekitar US$ 9 miliar.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan tekanan pada neraca transaksi berjalan pada kuartal II-2014 masih cukup besar. Maklum, pada kuartal II-2014 ada berbagai kegiatan yang memicu arus modal keluar seperti pembagian dividen yang direpatriasi oleh perusahaan asing di Indonesia, pembayaran utang luar negeri dan kegiatan impor yang cukup besar.

Menurut Perry, meski ia melihat ada peluang surplus neraca perdagangan akan berlanjut pada bulan berikutnya, tapi hal itu belum cukup mampu meredam berbagai tekanan pada transaksi berjalan ini. Alhasil, BI memperkirakan defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal II-2014 bakal mencapai US$ 9 miliar. "Secara keseluruhan, defisit transaksi berjalan masih tinggi," kata Perry, Rabu (2/7).


Meski begitu, Perry bilang defisit transaksi berjalan pada kuartal II-2014 ini lebih rendah ketimbang periode yang sama tahun lalu. Sebagai gambaran, pada kuartal II-2013 defisit transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 10,13 miliar atau 4,47% dari produk domestik bruto (PDB). Sementara itu, sebelumnya BI pernah memperkirakan defisit transaksi berjalan di akhir 2014 akan mencapai US$ 25 miliar.Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistyaningsih bilang besarnya defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal II-2014 akan mempengaruhi sentimen pasar. Tak hanya itu, tingginya defisit transaksi berjalan juga membuat rupiah ikut melemah.

Catatan saja, pada bulan lalu nilai tukar rupiah terus tertekan dan sempat menembus ke level Rp 12.000 per dollar Amerika Serikat (AS) akibat tingginya kebutuhan valuta asing (valas) untuk kebutuhan impor dan repatriasi dari perusahaan asing.

Selain itu, Lana bilang adanya arus modal masuk dari luar negeri melalui portofolio baik saham maupun obligasi juga menjadi beban tersendiri bagi neraca transaksi berjalan. Sebab, "seiring bertambahnya kepemilikan asing di obligasi atau saham, maka repatriasi akan semakin besar," jelas Lana, Kamis (3/7).

Karena defisit transaksi berjalan masih besar, Lana memperkirakan rupiah masih akan tertekan dan bergerak di kisaran Rp 11.700 per dollar AS - Rp 11.800 per dollar AS dalam waktu dekat.

Agar defisit transaksi berjalan tak semakin melebar, Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa bilang pemerintah harus berupaya memperbaiki ekspor. Salah satunya dari sisi ekspor mineral olahan yang hingga kini belum terealisasi.

Padahal, terhentinya ekspor mineral berdampak cukup signifikan pada kinerja ekspor. Maklum, dari sisi impor tidak banyak yang bisa dilakukan karena kebutuhan di domestik masih kuat. Karenanya, "Pertambangan harus diselesaikan untuk didorong (ekspornya)," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi