KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Defisit transaksi berjalan terbukti memperparah tren pelemahan nilai tukar rupiah. Imbasnya, rupiah tak hanya melemah terhadap dollar Amerika Serikat, melainkan juga terhadap mata uang global lainnya. Mengutip
Bloomberg, hingga Kamis (11/10) rupiah sudah melemah 12,39% (ytd) terhadap dollar AS ke level Rp 15.235 alias terendah sejak krisis 1998 silam. Di periode yang sama, rupiah juga terkoreksi terhadap mata uang utama lainnya, seperti euro (8,43%), poundsterling (9,76%), dan swiss franc (10,94%). Rupiah pun loyo di hadapan mata uang
emerging market di kawasan Asia Tenggara, misalnya ringgit Malaysia (9,26%) dan baht Thailand (11,41%).
Analis Global Kapital Investama, Nizar Hilmi menyampaikan, jika dipasangkan dengan dollar AS, pelemahan rupiah sebenarnya lebih didominasi oleh faktor eksternal. Mulai dari kebijakan kenaikan suku bunga acuan AS, tren kenaikan yield US Treasury dan harga minyak mentah, hingga perang dagang yang membuat posisi dollar AS makin solid di hadapan mayoritas mata uang lainnya. Di saat sentimen eksternal tengah merajalela, Indonesia harus menghadapi tantangan melebarnya defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD). “Faktor internal inilah yang menjadi pemberat langkah rupiah terhadap mata uang di luar dollar AS,” ujar Nizar, hari ini (11/10). Senada, Ekonom Bank Central Asia, David Sumual menyatakan, sentimen defisit transaksi berjalan menjadi faktor utama di balik pelemahan rupiah terhadap mata uang non-dollar AS contohnya Malaysia dan Thailand. Kedua negara ini disebut-sebut berada dalam posisi surplus untuk neraca transaksi berjalan. “Oleh karena itu, volatilitas dollar AS terhadap ringgit serta baht tidak sebesar yang dialami rupiah,” kata dia. Defisit transaksi berjalan masih akan menjadi penekan rupiah terhadap mata uang global dalam beberapa waktu ke depan. Sebab, di tengah tren penguatan dollar AS, harga minyak mentah dunia juga ikut melambung. Sebagai negara importir minyak, Indonesia jelas bakal kerepotan. Permintaan terhadap dollar AS pun akan meningkat di tengah pasokan yang minim. Kepala Ekonom Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro memprediksi, defisit transaksi berjalan di kuartal III bisa mencapai 3,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) akibat beban di sektor migas seiring kenaikan harga minyak dunia. Jika itu terwujud, gejolak pelemahan rupiah terhadap mata uang global dipastikan berlanjut.
Upaya pengendalian impor pun coba dilakukan pemerintah, misalnya lewat kebijakan kenaikan pajak penghasilan impor. Selain itu, harga BBM dinaikan untuk mengimbangi tekanan harga minyak dunia, walaupun kenaikan untuk jenis premium mengalami penundaan. Kendati demikian, pemerintah dinilai belum fokus pada peningkatan dan diversifikasi ekspor untuk menekan defisit transaksi berjalan sekaligus meredam volatilitas rupiah. Padahal, sudah menjadi fakta bahwa ekspor Indonesia masih didominasi oleh sektor komoditas yang potensi keuntungannya sangat bergantung pada pergerakan harga di pasar global. “Saat ini harga minyak sawit dan karet sedang menurun, padahal komoditas ini jadi andalan bagi Indonesia,” kata Satria. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Narita Indrastiti