KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia menargetkan menjadi negara maju atau berpenghasilan tinggi pada tahun 2045. Namun, menurut Direktur Next Policy Yusuf Wibisono, Indonesia harus mengatasi tantangan deindustrialisasi dini dan meningkatkan kualitas angkatan kerja untuk mencapai target tersebut. Yusuf menyatakan bahwa untuk menjadi negara maju, Indonesia harus mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif, serta menghindari stagnasi ekonomi di angka 5%.
"Gagasan besar terbaik adalah secepatnya mengatasi rendahnya kualitas angkatan kerja dan mencegah deindustrialisasi dini," ujar Yusuf pada Rabu (25/7).
Baca Juga: 80 Negara Tandatangani Komunike Perdamaian Ukraina, Indonesia Tidak Termasuk Yusuf menekankan pentingnya memanfaatkan bonus demografi yang saat ini berada di puncaknya. Bonus demografi adalah kondisi ketika jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar dibandingkan dengan usia nonproduktif (65 tahun ke atas), mencapai lebih dari 60% dari total populasi Indonesia. Namun, meski Indonesia telah menikmati bonus demografi sejak 2012, pertumbuhan ekonominya masih stagnan di sekitar 5%. Yusuf mengingatkan bahwa bonus demografi akan berakhir pada 2030, dan setelah itu Indonesia akan memasuki fase penduduk menua. "Waktu tersisa untuk meraih posisi sebagai negara berpenghasilan tinggi hanya tersisa 7 tahun sebelum puncak bonus demografi berakhir," tambahnya. Untuk mencegah deindustrialisasi dini, Yusuf menyarankan pemerintah untuk menemukan strategi reindustrialisasi yang lebih efektif daripada hilirisasi tambang. Menurutnya, strategi hilirisasi tambang yang saat ini digalakkan pemerintah belum mampu mentransformasi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Singapura Melambat Pada 2023 "Jantung permasalahan dari middle income trap Indonesia adalah lemahnya kapabilitas inovasi industri nasional, yang berujung pada rendahnya produktivitas bangsa," jelas Yusuf. Ia menambahkan bahwa deindustrialisasi adalah indikator kelemahan industri nasional yang masih bergantung pada industri padat karya sebagai komoditas ekspor utama selain batubara dan minyak sawit.
Pemerintah era Presiden Jokowi telah berupaya menahan deindustrialisasi dan mendorong reindustrialisasi melalui kebijakan hilirisasi tambang. Namun, Yusuf menilai kebijakan ini belum mendorong inovasi karena terlalu bergantung pada modal dan teknologi asing tanpa transfer teknologi yang signifikan.
Baca Juga: Tak Cukup 5%, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Harus Naik Kelas, Minimal 6% - 7% "Saatnya industrialisasi kita tidak lagi didasarkan pada strategi
export-led growth, tetapi dengan strategi
domestic demand-led growth," tandas Yusuf. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli