Demi pengusahaan panas bumi, Kemkeu bebaskan dari pungutan bea masuk



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan kembali melakukan perubahan atas keputusan menteri keuangan No. 231/KMK.03/2001 tentang aturan perlakuan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah atas impor barang kena pajak yang dibebaskan dari pungutan bea masuk.

Perubahan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 137/PMK.010/2018 merupakan perubahan keenam, setelah sebelumnya perubahan kelima ditetapkan dalam PMK No. 196/PMK.010/2016.

Di keputusan menteri keuangan No. 231/2001, dalam ayat 2 pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan ini memang menyebutkan impor sebagian barang kena pajak yang dibebaskan dari pungutan bea masuk, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.


Dalam PMK 137/2018, aturan yang diubah merupakan ketentuan ayat 3 huruf m pasal 2. Di mana, salah satu barang kena pajak yang dibebaskan dari pungutan bea masuk adalah barang yang digunakan untuk kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi hulu minyak dan gas bumi; atau kegiatan pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, dan pemanfaatan.

Bila dibandingkan dengan aturan sebelumnya yang tercantum dalam ayat 3 huruf m pasal 2 PMK No. 196/PMK.010/2016, salah satu barang kena pajak yang dibebaskan dari pungutan bea masuk barang yang dipergunakan untuk kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi hulu minyak dan gas bumi serta eksplorasi dan eksploitasi panas bumi.

Salah satu pertimbangan adanya perubahan ini adalah untuk meningkatkan produksi energi terbarukan. Untuk menjamin tersedianya pasokan energi yang berkelanjutan perlu diberikan fasilitas tidak dipungut pajak, pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang merah atas impor kena pajak tertentu untuk kegiatan pengusahaan panas bumi.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) DJP Kemkeu Hestu Yoga Saksama mengatakan, PMK ini tersebut bertujuan untuk mendukung pengusahaan panas bumi sebagai sumber energi yang ramah lingkungan.

"Potensi panas bumi di Indonesia sangat luar biasa besarnya, diperkirakan bisa sampai kapasitas setara 27.500 MW listrik dapat dihasilkan, sedangkan saat ini realisasinya baru sekitar 2.000 MW. Nah, kebijakan fiskal melalui fasilitas PPN tidak dipungut dalam PMK ini untuk membantu dan mendorong investasi pengusahaan panas bumi," ujar Hestu kepada Kontan.co.id, Kamis (25/10).

Aturan ini diundangkan pada 1 Oktober 2018, dan akan berlaku setelah 30 hari terhitung sejak diundangkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto