DEN sebut harus ada insentif untuk bioethanol



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Selain bermasalah dengan pemanfaatan biodiesel, pemerintah melalui Dewan Energi Nasional (DEN) juga menyoroti sulitnya menerapkan pemanfaatan bioethanol. Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12/2015 telah diatur kewajiban menggunakan bioethanol sebesar 5% mulai Januari 2016 dan 5% pada 2020 untuk sektor usaha mikro, perikanan, pertaninan, transportasi, dan pelayanan umum (PSO)

Untuk sektor transportasi, industri, dan komersial diwajibkan menggunakan bioethanol sebesar 5% pada Januari 2016 dan sebesar 10% pada Januari 2020. Namun menurut Anggota DEN, Syamsir Abduh, penerapan bioethanol sulit dicapai.

Pasalnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.62/PMK.011/2010 dan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: P - 22/BC/2010 telah menetapkan adanya cukai yang dikenakan terhadap etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya.


Untuk itu, Syamsir bilang untuk mendorong pemanfaatan bioethanol maka diharapkan Menteri Keuangan (Menkeu) untuk mempertimbangkan lagi cukai yang diterapkan pada ethanol yang dijadikan sebagai bahan bakar. "Menkeu sebagai anggota DEN diharapkan untuk mempertimbangkan insentif jika ethanol yang 5% diterapkan, terutama terkait bea masuk," kata Syamsir dalam konferensi pers pada Kamis (12/10) di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta.

Anggota DEN lainnya, Rinaldy Dalimi bilang, dalam Sidang DEN yang digelar hari ini (12/10) juga diusulkan adanya swap ( tukar menukar) antara biodiesel Indonesia dengan ethanol dengan spesifikasi fuel grade dari Thailand. Apalagi produk ethanol fuel grade belum ada di Indonesia.

"Tadi diskusinya itu dikhawatirkan kalau-kalau ethanol itu jadi minuman. Kalau ethanol yang food-grade seharusnya tidak sama dengan yang fuel-grade pajak masuknya," kata Rinaldy.

Opsi swap ini pun nantinya akan dibahas oleh Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, dan Menteri ESDM. Di sisi lain, pasokan ethanol juga akan dibahas oleh Menteri Pertanian dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Selain itu, Syamsir juga menyebut adanya opsi untuk mulai menerapkan bioethanol dengan cara meminta Pertamina menyiapkan nozzle khusus untuk biopertamax. Dengan begini program E5 dan E10 bisa berjalan.

Pertamina juga diminta untuk mengkaji harga biopertamax. DEN berharap harga untuk biopertamax hanya berselisih Rp 50-Rp 100 per liter.

"Pertamina menjanjikan nanti coba akan berikan perhitungan. Tapi dalam bayangan kami, kalau selisihnya Rp 50-100 kan tidak terlalu besar. Itulah, makanya kami tekankan betul pricing policy-nya, termasuk insentif apa yg diperoleh oleh produsen ketika diterapkan," jelas Syamsir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini