KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto mengungkapkan, transisi energi diharapkan bisa terealisasi secepat mungkin guna mencapai ketahanan energi domestik. Transisi energi yang cepat juga bisa menghindarkan Indonesia pada tingginya ketergantungan impor minyak dan Liquified Petroleum Gas (LPG). "Harapan transisi ini cepat terealisasi. Kalau lambat nanti impor LPG, impor bensin, dan juga impor minyak mentah sebagai bahan baku kilang akan makin besar," kata dia dalam siaran pers di situs Kementerian ESDM seperti dikutip Kontan.co.id, Rabu (9/12). Djoko menjelaskan, transisi energi mesti ditanamkan sebagai paradigma baru dalam pengelolaan sektor energi dan sumber daya mineral di Indonesia.
Baca Juga: Jaga ketahanan energi, Pertamina fokus modernisasi dan bangun kilang minyak "Kalau paradigma pengelolaan energi memang sudah mulai terjadi perubahan. Dulu energi kita itu menjadi andalan devisa negara dan pendapatan di APBN. Sekarang menjadi andalan utama bagi pertumbuhan ekonomi dan sebagai alat pencipta lapangan kerja," tegasnya. Bonus demografi dan pertumbuhan ekonomi turut menggeser kebutuhan konsumsi energi. Djoko melihat pergeseran paradigma ini ditandai dengan ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi. Menurutnya, dahulu produksi energi Indonesia, terutama minyak bumi mampu melebihi dari tingkat kebutuhan yang ada. Misalnya, produksi minyak Indonesia dahulu bisa mencapai 1,5 juta barel per day (bpd), sementara konsumsi di dalam negeri hanya 800.000 bpd. Alhasil, Indonesia mengekspor minyak tersebut sebagai penghasil devisa negara. Namun, seiring perkembangan zaman, tingkat konsumsi semakin meningkat dan tidak dibarengi dengan tingkat produktivitas energi fosil yang terus mengalami deklanasi. "Sekarang kontribusi hulu migas sebagai penghasil devisa sejak 2016 di bawah 10% yaitu sekitar 5-6%," ungkap Djoko. Guna menjawab tantangan tersebut, pemerintah melalui Kementerian ESDM tengah menyiapkan regulasi khusus untuk mempercepat pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT). Regulasi tersebut berupa Peraturan Presiden (Perpres) tarif EBT yang mana drafnya sedang diserahkan kepada Presiden Joko Widodo. Perpres ini diharapkan membuat harga EBT menjadi lebih terjangkau bagi masyarakat dan investor. Djoko mengaku, selama ini harga EBT di Indonesia sulit bersaing dengan harga energi fosil. Padahal, di saat pandemi Covid-19, harga minyak terseret hingga ke level paling rendah, sementara harga EBT tidak mengalami fluktuasi. "Makanya ada Undang-Undang EBT yang dalam proses final, termasuk Perpres-nya dalam soal harga," ujar Djoko. Baca Juga: Gandeng mitra China dan Korea, kesepakatan holding baterai ditarget rampung awal 2021