KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi denda administratif karena implementasi prinsip ultimum remedium di bidang cukai sepanjang 2024 mencapai Rp 77,61 miliar. Realisasi ini meningkat 15,6% jika dibandingkan dengan tahun 2023 yang hanya Rp 67,13 miliar. Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Kemenkeu Nirwala Dwi Heryanto mengungkapkan, mayoritas ultimum remedium tersebut dilaksanakan terhadap pelanggaran di bidang cukai yang masih pada tahap penelitian.
Baca Juga: Target Penerimaan Bea Keluar Tahun 2025 Turun Imbas Larangan Ekspor Tembaga "Didominasi oleh penelitian karena kalau sudah tahap dua, kita melibatkan Kejaksaan, akan lebih sulit," ujar Nirwala dalam Media Briefing di Jakarta, Jumat (10/1). Secara rinci, realisasi denda karena implementasi ultimum remedium ini terdiri atas ultimum remedium penelitian sebesar Rp 54,5 miliar dan sebesar Rp 12,3 miliar dari ultimum remedium penyidikan. Sebagai informasi, untuk mempercepat proses penyelesaian perkara pelanggaran di bidang cukai dan memaksimalkan pemulihan kerugian negara, Bea Cukai menerapkan prinsip ultimum remedium, atau penggunaan hukum pidana Indonesia sebagai sebuah jalan akhir dalam penegakan hukum. "Dengan prinsip tersebut, penyidikan dapat dihentikan setelah yang bersangkutan membayar sanksi administratif berupa denda. Penerapan prinsip ultimum remedium atas pelanggaran pidana di bidang cukai bertujuan menciptakan keadilan restoratif (restorative justice) yang lebih objektif," ungkap Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai, Budi Prasetiyo. Penerapan prinsip tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2023 mengenai Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Cukai untuk Kepentingan Penerimaan Negara didasarkan pada Pasal 64 ayat (9) Undang-Undang No 11 Tahun 1995 tentang Cukai, yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Budi mengatakan, aturan ini mengubah pendekatan penegakan hukum di bidang cukai dari pemidanaan badan menjadi lebih mengutamakan pemulihan kerugian keuangan negara. "Mengingat Undang-Undang Cukai berfokus pada aspek fiskal, langkah pemulihan keuangan negara lebih diutamakan sebelum penerapan sanksi pidana di bidang cukai, yang seharusnya menjadi alternatif terakhir," lanjutnya. Berdasarkan aturan di atas, menteri keuangan, jaksa agung, atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang cukai paling lama dalam waktu enam bulan sejak tanggal surat permintaan.
Baca Juga: Cukai Minuman Berpemanis akan Berlaku di Semester II-2025, Batasan Kadar Gula Dikaji Prinsip ultimum remedium dalam pelanggaran pidana di bidang cukai hanya berlaku untuk beberapa tindak pidana tertentu, seperti yang diatur dalam Pasal 50 (pelanggaran perizinan), Pasal 52 (pengeluaran barang kena cukai), Pasal 54 (barang kena cukai tanpa pita cukai), Pasal 56 (barang kena cukai dari tindak pidana), dan Pasal 58 (pelanggaran peredaran pita cukai) UU Cukai s.t.d.d UU HPP. Penyidikan dihentikan setelah yang bersangkutan membayar sanksi administratif berupa denda sebesar empat kali dari nilai cukai yang seharusnya dibayar. Dalam hal barang kena cukai seperti rokok, nilai cukai ditentukan dengan mengalikan jumlah batang rokok yang diamankan dengan nilai cukai per batang rokok. Jika tarif cukai tidak dapat ditentukan, maka tarif terendah akan digunakan. Setelah tersangka menyetujui besaran denda yang harus dibayarkan untuk menghentikan proses penyidikan, penyidik akan menyusun dokumen untuk permohonan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang cukai. Tersangka membayar denda administratif ke rekening pemerintah yang ditetapkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Setelah pembayaran denda, tersangka menyerahkan surat pengakuan bersalah dan bukti pembayaran. Dengan pemberian dokumen tersebut, menteri keuangan akan mengeluarkan surat permohonan penghentian penyidikan dalam waktu maksimal lima hari kerja.
Baca Juga: Bea Cukai Blokir Layanan Ekspor 99 Perusahaan Nakal karena Tak Parkir Dolar di RI Dalam konteks penghentian penyidikan untuk kepentingan penerimaan negara, Jaksa Agung atau pejabat yang menelaah dokumen permohonan penghentian penyidikan. "Dengan diberlakukannya ketentuan ini, persetujuan penghentian proses penyidikan pelanggaran di bidang cukai untuk kepentingan negara harus melalui mekanisme penelitian oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Jika hasil penelitian memenuhi syarat, sanksi administratif harus segera dibayarkan. Jika tidak dibayar, proses penyidikan akan tetap berlanjut," tegas Budi. Prinsip ultimum remedium diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi pelanggaran di bidang cukai dan memberikan efek jera, melalui penerapan sanksi administratif berupa denda agar pelaku tidak mengulangi perbuatan pidana. "Sanksi administratif tersebut, dianggap sudah cukup efektif memberikan dampak baik secara materiil maupun moril kepada pelaku pelanggaran," imbuhnya.
Budi menambahkan hasil penindakan berupa barang kena cukai dan barang lain yang disita menjadi milik negara setelah ditetapkan sebagai barang milik tersangka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi