Depenas sebut kebijakan pengupahan untuk normalisasi upah minimum



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Anggota Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) dari unsur pakar, Joko Santosa mengatakan, kebijakan pengupahan yang dilakukan Pemerintah Indonesia saat ini dinilai bertujuan untuk normalisasi upah minimum (UM). Langkah ini perlu dilakukan agar upah minimum berjalan sebagaimana fungsinya.

“Jadi pemerintah sedang berusaha melakukan normalisasi agar upah minimum ini berjalan sesuai fungsinya, sebagai jaring pengaman atau safety net,” kata Joko dalam siaran pers, Sabtu (20/11).

Joko mengatakan, safety net yang tengah dibangun tidak hanya ditujukan bagi pekerja baru, yakni pekerja dengan masa kerja di bawah 12 bulan. Namun lebih dari itu, safety net dalam upah minimum yang diatur PP No.36 Tahun 2021 ini juga bertujuan untuk melindungi pekerja dengan masa kerja di atas 12 bulan dari jebakan upah murah.


Baca Juga: Kemenaker sebut upah minimum hanya berdampak pada 2 juta pekerja

Menurutnya, upah minimum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan adalah upah minimal yang seharusnya diberikan kepada pekerja baru atau masa kerja di bawah 12 bulan. Namun pada kenyataannya, upah minimum kerap menjadi upah efektif atau upah aktual. Artinya, pekerja dengan masa kerja di atas 12 bulan juga diberikan upah sesuai upah minimum sebagai akibat upah minimum yang sudah terlampau tinggi.

Padahal menurut Joko, pekerja dengan masa kerja di atas 12 bulan seharusnya diberikan upah berdasarkan struktur dan skala upah dengan kenaikan upah berdasarkan kinerja pekerja dan produktivitas perusahaan.

“Kalau jebakan upah murah terjadi yang dirugikan adalah pekerja dengan masa kerja di atas 12 bulan,” ucap dia.

Joko mengatakan, upah minimum dijadikan sebagai upah aktual, di antaranya disebabkan oleh upah minimum di Indonesia sudah berada di atas median upah atau nilai tengah sebaran upah.

Baca Juga: Sah, ini UMP dan UMK di Yogyakarta tahun 2021, upah di Gunungkidul naik tertinggi

Berdasarkan metode Kaitz index, metode yang membandingkan antara UM dengan median upah di suatu wilayah, didapati bahwa Kaitz Index Indonesia sudah di atas 1,1 (satu koma satu). Padahal berdasarkan standar ILO, Kaitz Index seharusnya berada di antara 0,4 – 0,6.

“Nilai upah minimum Indonesia itu nilainya sudah di atas median upah. Itu kalau di seluruh dunia hanya terjadi di Indonesia,” ujar Joko.

Akibat dari tingginya Kaitz Index tersebut, kata Joko, ada 2 resiko yang dapat terjadi. Pertama, pengusaha tidak akan membayar upah sesuai UM. Kedua, pengusaha akan kesulitan untuk menaikkan upah bagi pekerja dengan masa kerja di atas 12 bulan.

“Berarti banyak pekerja yang masa kerjanya di atas 12 bulan ini akan dibayar dengan upah di sekitar upah minimum atau sedikit di atas upah minimum. Inilah yang disebut sebagai jebakan upah murah. Untuk itu seluruh pihak harus fokus pada upah berbasis produktivitas, bukan lagi kepada upah minimum,” jelas Joko.

Baca Juga: Inilah beda UMK dan UMP serta ketentuan penetapannya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati