KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dana masyarakat yang terhimpun di bank dalam bentu valuta asing (valas) tumbuh stabil pada akhir tahun lalu. Bank Indonesia (BI) dalam Analisis Uang Beredar mencatat, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) hingga Desember 2018 mencapai Rp 5.455,5 triliun, baru tumbuh 6,1% secara year on year (yoy). Sedikit berbeda, DPK valas tahun lalu tumbuh sebesar 8,1% secara yoy menjadi Rp 764,9 triliun. Adapun, porsi DPK valas terhadap total DPK per akhir tahun lalu mencapai 14,02% naik dari periode tahun sebelumnya yang baru 13,73%. Bila dirinci, mayoritas DPK valas di perbankan ada dalam bentuk deposito yang nilainya mencapai Rp 331,3 triliun atau tumbuh 8% secara tahunan. Disusul oleh giro Rp 303,3 triliun dan tabungan Rp 130,3 triliun yang masing-masing tumbuh 9,2% dan 5,8% secara tahunan.
Melihat angka tersebut, sejumlah bankir yang dihubungi Kontan.co.id memandang tahun ini pertumbuhan DPK valas terutama deposito masih bakal stabil. Sebab, sebagian besar bank di Tanah Air tidak menjadikan valas sebagai kebutuhan utama, alias lebih mengoptimalkan DPK Rupiah. Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Santoso Liem misalnya menjelaskan kalau deposito valas hanya menjadi penyeimbang bagi kebutuhan pendanaan BCA. "Naik turunnya deposito valas sangat tergantung pada kurs mata uang, produk ini adalah pelengkap bagi kami," ujarnya, Minggu (10/2). Lebih lanjut, BCA pun sejak dulu tidak mematok target pertumbuhan spesifik untuk DPK valas alias memilih untuk mengikuti kebutuhan dan persaingan pasar saja. Lagi pula, dari total DPK BCA porsi dana valas hanya di bawah 10%. Dengan rincian, total DPK valas sebesar 7% dan deposito valas terhadap DPK perseroan hanya 2%. Sekadar catatan, merujuk pada laporan keuangan bulan Desember 2018 lalu total DPK BCA mencapai Rp 630,09 triliun. Posisi ini tumbuh 8,41% dibandingkan realisasi tahun sebelumnya Rp 581,18 triliun. Di sisi lain, PT Bank CIMB Niaga Tbk mengatakan pertumbuhan deposito valas pada akhir tahun lalu masih disebabkan oleh kondisi pasar. Pun, Direktur Konsumer CIMB Niaga Lani Darmawan juga menegaskan kalau pihaknya tidak menjadikan valas sebagai prioritas funding. "Kami tidak terlalu fokus ke deposito valas. Sesuai dengan kebutuhan pinjaman kami yang juga mayoritas dalam Rupiah," terangnya. Meski tidak dapat merinci besaran porsi dana valas terhadap DPK, pihaknya menyebut porsinya sampai saat ini masih sangat kecil. Sedikit berbeda, Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk Parwati Surjaudaja mengakui kalau tahun lalu pertumbuhan deposito valas relatif tinggi yakni mencapai 12% secara tahunan. Capaian tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan deposito secara total yang hanya tumbuh 8% menjadi Rp 79,69 triliun pada akhir tahun lalu. Serta lebih tinggi dari realisasi pertumbuhan DPK OCBC NISP yang naik 10,68% yoy menjadi Rp 125,56 triliun. Adapun, porsi dana valas terhadap total DPK di OCBC NISP pada tahun lalu mencapai 27% alias sama dengan periode di tahun 2017. Bank yang terafiliasi dengan OCBC Grup ini pun meramal pertumbuhan deposito valas di tahun 2019 masih akan berada di kisaran yang sama dengan tahun lalu.
Bertolak belakang dengan Parwati, Direktur Utama PT Bank Mayapada Internasional Tbk Haryono Tjahjarijadi justru mengatakan tahun ini pertumbuhan deposito atau DPK valas maupun Rupiah bakal terbatas tahun ini. Pasalnya, Pemerintah lewat Kementerian Keuangan sudah mengumumkan untuk menerbitkan cukup banyak surat berharga yang imbal hasilnya (yield) sangat kompetitif. "Potensi pertumbuhan DPK memang tetap ada, namun tidak terlalu besar, mungkin maksimal 10% sampai 11%," jelasnya. Ujungnya, hal ini juga akan berdampak langsung terhadap pertumbuhan dana valas di perbankan. Selain karena faktor persaingan, hal tersebut juga dipengaruhi tingkat nilai tukar (kurs) valas yang saat ini mulai stabil Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .