Depresi hingga bunuh diri menjadi momok pasien corona, ini pemicunya



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Beruntunglah Anda yang tak terpapar corona atau Covid-19. Pasien positif corona atau Covid1-19 tak hanya mengalami keluhan fisik seperti demam, batuk sampai sesak napas, tapi mereka juga mengalami tekanan mental.

Bahkan tekanan mental masih juga terjadi tatkala pasien corona atau Covid-19 sudah sembuh. Penyitas corona (Covid-19) atau mereka yang sudah sembuh masih menanggung beban mental karena khawatir dengan stigma negatif dari masyarakat.

Pengajar KSM Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dr. Hervita Diatri, dalam Talkshow BNPB: Stop Stigma: Sebar Cinta Saat Pandemi, Senin (28/12) mencatat bahwa persentase pasien yang mengalami depresi usai sembuh cukup tinggi. 


"Kalau lihat angka statistiknya yang masih mengeluhkan ansietas depresi pasca-perawatan masih berkisar antara 30 persen-40%. Ada yang beberapa kasus bunuh diri, karena pulang rawat, banyak masalah psikososial yang terjadi," ujar Hervita Diatri, Senin (28/12).

Stigma negatif bermacam-macam. Salah satunya, penyintas dijauhi oleh lingkungan karena warga takut tertular.   Meski penyintas sudah dinyatakan sembuh dan negatif corona.

Menurutnya, dengan menerapkan 3M yakni mencuci tangan, menjaga jarak dan memakai masker, seseorang dapat terhindar dari COVID-19, tanpa perlu takut berkomunikasi.

Masalah menjadi bertambah karena penyintas memiliki masalah lain yang belum tuntas. Salah satunya adalah mereka menanggung beban ekonomi. 

Hervita memberikan contoh jika penyitas Covid-19 harus kerja karena kurang ekonomi, Saya terpapar, padahal saya punya masalah ekonomi, lalu bagaimana ini. Itu bikin depresi. Cemas, depresi, tambah rasa bersalah, juga khawatir menularkan," kata Hervita. 

Baca Juga: Ini kapasitas tempat tidur rumah sakit rujukan Covid-19 di 9 daerah zona merah

Penyitas yang sudah negative corona alis sembuh harus dihadapkan dengan masalah cemas jika ternyara dia masih menularkan.

Tak sedikit juga pasien corona yang selama masa perawatan depresi karena sebagai tulang punggung keluarga yang juga depresi, Kata Hervita, selama masa perawatan mereka dicemaskan dengan masalah siapa yang cari uang untuk keluarga.

“ Lalu mereka harus lanjut isolasi mandiri sekian hari, belum lagi stigma, saya pulang dikucilkan dengan pikiran saya cari uang gimana," sambungnya. 

Maka dari itu, Hervita meminta semua orang membangun komunikasi yang baik dengan pasien maupun penyintas COVID-19. Hervita mengingatkan, COVID-19 bukanlah aib yang harus dijauhi.  

Baca Juga: Antisipasi corona baru masuk, WNA dilarang masuk Indonesia mulai 1-14 Januari 2021

Menurutnya, cara  paling benar menurunkan depresi pascacorona, adalah menghapus stigma, memberikan dukungan. 

Hervita mengingatkan, stigma negatif akan membuat imunitas seseorang akan menurun, baik secara mental maupun biologis. Padahal, imunitas sangat dibutuhkan bagi pasien COVID-19 yang masih sakit maupun dalam masa pemulihan. 

"Kita tahu penyakit ini akan muncul lagi gejalanya, jadi kalau imunitas turun, tentu sulit, belum lagi kalau ada paparan ulang, karena ini semua penyakit baru, turun," kata Hervita. 

Kedua, kata Hervita, emungkinan kalau berlanjut menjadi gangguan jiwa. "Kita berharap masyarakat dapat kembali produktif, maka memang stigma ini perlu disingkirkan supaya kita merasa cepat sembuh, sehingga ujungnya baru bicara sosial ekonomi (produktivitas),"ujar Hervita. 

#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #jagajarakhindarikerumunan #cucitangan #cucitanganpakaisabun

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Titis Nurdiana