Deregulasi terganjal UU Perkebunan



JAKARTA. Dalam setumpuk paket deregulasi kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), terselip satu rencana kebijakan untuk mengubah aturan di bidang perkebunan, khususnya kelapa sawit. Adalah Peraturan Menteri Nomor 98 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan pasal 14 yang rencananya akan diubah.

Poin penting dalam pasal ini menyebut bahwa perusahaan kelapa sawit wajib menjual saham alias divestasi kepada koperasi pekebun setempat, paling rendah 5% pada tahun kelima dan 30% pada tahun ke-15 setelah izin terbit.

Berdasarkan berkas paket deregulasi kebijakan yang diterima KONTAN, perubahan aturan ini dimaksudkan untuk membuka kesempatan usaha kepada pihak selain koperasi pekebun setempat dan menumbuhkembangkan diversifikasi usaha sehingga memperluas kesempatan kerja.


Artinya, pemerintah tengah berupaya untuk membuka ruang bagi koperasi pekebun di luar pekebun lokal (sekitar perkebunan) untuk menjalin kemitraan dengan perusahaan tersebut, serta terbuka ruang untuk mengembangkan usaha lain di luar kelapa sawit, meski berada di areal perkebunan kelapa sawit.

Hanya saja, Herdrajat Natawidjaja, Direktur Tanaman Tahunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kemtan) menyebut, deregulasi kebijakan ini masih dalam tahap pembicaraan  internal Kemtan. "Kami tengah mengkaji apakah Permentan No. 98/ 2013 ini bisa direvisi atau kami akan mengeluarkan aturan baru turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan," ujarnya kepada KONTAN, Kamis (17/9) kemarin.

Herdrajat mengatakan, perubahan beleid tersebut saat ini tidak mudah karena sejak akhir tahun lalu, sudah ada UU Perkebunan, sehingga revisi Permentan No. 98/ 2013 tak boleh bertentangan dengan UU Perkebunan.

Dalam pasar 58 UU Perkebunan secara tegas diatur bahwa kemitraan dilakukan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat sekitar. Beleid tersebut juga menyebutkan bahwa perusahaan wajib memfasilitasi pembangunan kebun bagi masyarakat sekitar, paling rendah 20% dari total luas lahan dan dilakukan paling lambat tiga tahun setelah hak guna usaha  (HGU) perkebunan diberikan.  Untuk memperjelas ketentuan ini, diperlukan aturan teknis berupa Peraturan Pemerintah (PP).

Tidak sinkronnya Permentan No. 98/ 2013 dan UU Perkebunan ini membuat pemerintah tengah menimbang antara merevisi Permentan atau membuat petunjuk teknis dalam bentuk PP. 

Bikin kontrak pembelian

Togar Sitanggang, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan, poin yang mewajibkan industri pengolahan kelapa sawit melakukan divestasi saham kepada pekebun setempat seharusnya diubah karena bertentangan dengan prinsip investasi. "Kalau punya usaha, tentunya kita ingin untuk meningkatkan saham, bukan divestasi," ujarnya.

Togas mengusulkan, ketimbang mewajibkan penjualan saham atau berbagi lahan, perusahaan kelapa sawit lebih memilih opsi pemberdayaan pekebun setempat melalui kontrak pembelian tandan buah segar (TBS) dengan syarat tertentu sehingga menguntungkan kedua pihak.

Mansuetus Darto, Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menyatakan, sejak Permentan No. 98/ 2013 terbit sampai saat ini, petani masih memperjuangkan implementasinya di lapangan. Menurutnya, kewajiban membuat kebun bagi rakyat harus terus dilakukan, tapi tidak melalui koperasi yang dinilainya kurang adiil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Havid Vebri