KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Eks Direktur Utama PT Jasamarga Jalan Layang Cikampek (JJC), Djoko Dwijono menyampaikan sejumlah fakta persidangan yang membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi dan merugikan negara dalam proyek pembangunan jalan tol layang Jakarta Cikampek (Japek) II Elevated. Hal itu diungkapkan oleh Djoko saat penyampaian pledoi atau pembelaaan atas sejumlah dakwaan jaksa yang ditujukan kepadanya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (18/7) lalu. Menurut pria 65 tahun ini, dalam dakwaan sebelumnya Jaksa menyebutkan bahwa dirinya dengan Yudhi Mahyudin secara sengaja mengarahkan pemenang lelang pekerjaan Steel box girder pada merek Perusahaan tertentu yaitu PT. Bukaka Teknik Utama.
Namun faktanya, selama persidangan terungkap bahwa Djoko tidak mengetahui adanya pencantuman ketentuan “Steel box girder Bukaka” dalam dokumen lelang cq Spesifikasi Khusus. “Saya juga tidak pernah menyetujui Spesifikasi Khusus yang mencantumkan ketentuan “Steel box girder Bukaka” sebagai dokumen lelang,” ungkapnya di persidangan, Kamis (18/7). Fakta lainnya yang diungkapkan oleh Djoko adalah soal pemberian hak untuk menyamakan penawaran atau right to match (RTM) kepada konsorsium PT Waskita Karya Tbk-PT Acset Indonusa Tbk (KSO Waskita-Acset), dalam lelang proyek jalan tol layang terpanjang di Indonesia itu. Djoko mengatakan, penerapan konsep design and build dan metode right to match karena pada proses sebelumnya, pada lelang investasi, sudah diinformasikan kontraktor pelaksanaannya, dan kontraktor tersebut akan diberikan right to match di dalam proses pelelangan konstruksi. “Pada kenyataannya hak tersebut juga tidak perlu digunakan karena harga penawar KSO Waskita-Acset sudah paling rendah,” lanjut Djoko. Ketentuan mengenai pemberian right to match sudah diatur oleh Pemerintah untuk proyek kerjasama Pemerintah dengan badan usaha (KPBU). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015, badan usaha pemrakarsa KPBU memperoleh tiga kompensasi. Selain hak untuk menyamakan penawaran alias right to match, pemrakarsa juga mendapat tambahan nilai sebesar 10% dan pembelian prakarsa KPBU, antara lain hak kekayaan intelektual, oleh pemerintah. Fakta lainnya yang diungkap Djoko terkait dakwaan bahwa pihaknya disebut bersekongkol bersama ketiga terdakwa lainnya untuk mengubah spesifikasi khusus yang tidak sesuai dengan basic design (desain awal) dan menurunkan volume serta mutu steel box girder yaitu dengan cara tidak mencantumkan tinggi girder pada dokumen penawaran. Sementara dalam persidangan terungkap bahwa pembangunan jalan tol Jakarta-Cikampek II Elevated menggunakan metode pekerjaan Design and Build, sehingga dapat dilakukan pengembangan spesifikasi dari yang telah ditentukan pada basic design. "Perubahan steel box girder berbentuk V shape menjadi steel box girder bentuk U shape pada pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated dilakukan sebelum PT JJC didirikan dan saya belum menjadi Direktur Utama PT JJC," tegasnya. Sesuai fakta persidangan juga tidak pernah terungkap adanya persekongkolan antara Djoko Dwijono dengan Saksi Tony Budianto Sihite dan Waskita-Acset KSO untuk mengurangi volume pekerjaan struktur beton. Apalagi jika dilihat dari sisi kontrak antara PT JJC dengan Waskita-Acset KSO bersifat lump sum fixed price yang tidak mengenal perhitungan volume. "Perhitungan volume pekerjaan berdasarkan Rencana Teknik Akhir (RTA). Dalam skema desain and build semuanya bersifat lump sum fixed price,"ujarnya. Terdakwa Djoko Dwijono dan Tony Budianto Sihite sebelumnya didakwa telah bersekongkol dengan pihak KSO Waskita-Acset untuk mengurangi volume pekerjaan struktur beton, dengan cara menyetujui pekerjaan volume beton yang tidak sesuai dengan Rencana Teknik Akhir (RTA), sehingga terdapat kekurangan volume pada pekerjaan. Djoko mengaku sebelum pekerjaan ini dilakukan, kontrak Jasa Pemborongan (Design and Build) antara PT JJC dengan Waskita-Acset KSO merupakan kontrak pekerjaan konstruksi terintegrasi rancang dan bangun (Design and Build), sehingga pembuatan RTA merupakan kewajiban dari kontraktor Design and Build in casu Waskita-Acset KSO. Di mana pekerjaan konstruksi jalan tol Jakarta-Cikampek II Elevated didasarkan pada Rencana Teknik Akhir (RTA) yang dibuat secara parsial oleh Kontraktor melalui Konsultan Perencana. Dalam dakwaan lain, JPU menyebut Djoko tidak melakukan evaluasi dan pengendalian terhadap kegiatan pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated. sehingga hasil pekerjaan tidak dapat dimanfaatkan sesuai dengan feasibility (studi kelayakan) dan Kriteria Design yang sudah ditetapkan. Faktanya dalam persidangan terungkap bahwa laporan yang diterima oleh Djoko Dwijono terkait hasil uji tekan beton pada masa konstruksi yang dilakukan oleh KSO Waskita Acset dengan bantuan labolatarium independen (Laboraturium Universitas Indonesia, Trisakti, Institut Teknologi Bandung dan Balai Uji PUPR) sudah sesuai ketentuan. “Hal ini turut disaksikan oleh konsultan pengawas PT Virama Karya (Persero) dan Pimpro area I, II, dan III, seluruhnya menyatakan hasil kuat tekan beton telah memenuhi syarat minimum fc’ 35 mpa” tutupnya. Djoko Dwijono yang kini berusia 65 tahun menyelesaikan pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1986. Ia memulai karirnya di PT Jasamarga (Persero) hingga pensiun di tahun 2015 sebagai kepala Satuan Pengawas Internal.
Setelah memasuki masa pensiun sebagai karyawan, Djoko dipercaya menduduki jabatan di anak perusahaan PT Jasamarga (Persero) Tbk. Diantaranya sebagai Direktur Operasi PT Trans Lingkar Kita Jaya, Direktur Utama PT Jasamarga Jalanlayang Cikampek, dan terakhir sebagai komisaris PT Trans Marga Jateng yang berakhir di tahun 2020. Djoko ditugaskan menjadi dirut PT Jasamarga Jalanlayang Cikampek pada bulan November 2016 ketika proyek jalan tol MBZ bakal segera dibangun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Fahriyadi .