KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Deretan saham berkategori
blue chip seperti PT Astra International Tbk (
ASII), PT Unilever Indonesia Tbk (
UNVR), PT Gudang Garam Tbk (
GGRM), Telkom Indonesia Tbk (
TLKM) dan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (
HMSP) masih tertinggal atau
laggard. Padahal saham-saham
blue chip tersebut secara bisnis menjadi
market leader di tiap sektor-nya. Berdasarkan data RTI, saham GGRM parkir di level Rp 15.900 per saham pada penutupan perdagangan Kamis (19/9) atau melorot 80,92% dalam 5 tahun terakhir perdagangan. Begitu pun dengan saham
blue chip lainnya kompak mengalami penurunan dalam 5 tahun terakhir. Harga saham ASII turun 26,48%, lalu ada UNVR turun 26,48%, HMSP jeblok 75,11% dan TLKM anjlok 17,15%.
Mayoritas saham tersebut pun dinilai belum bisa lagi melompat ke level tertingginya.
Head Customer Literation and Education PT Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi menilai, penurunan harga saham tersebut disebabkan oleh faktor kinerja emiten yang cenderung stagnan hingga penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
Baca Juga: IHSG Tembus 7.905 pada Kamis (19/9), Intip Proyeksinya Esok Hari Misalnya, UNVR mencatatkan Compound Annual Growth Rate (CAGR) untuk Earnings per Share (EPS) atau Laba Per Saham (LPS) dalam 3 tahun terakhir sebesar turun 12,5%, lalu GGRM sebesar turun 11,4% dan HMSP sebesar koreksi 1,92%. Audi bilang, terdapat korelasi positif antara kinerja yang menurun dengan penurunan harga saham, seperti dalam 3 tahun terakhir harga saham HMSP terkoreksi 22,7%, UNVR turun 43% dan GGRM ambles 50%. "Sentimennya kami lihat beragam, seperti dari GGRM dan HMSP yang memang marginnya terus tergerus seiring dengan kenaikan cukai rokok tiap tahunnya," kata Audi kepada Kontan, Kamis (19/9). Menurutnya, produsen rokok akan cukup sulit untuk kembali ke masa tertingginya lagi di tengah fokus pemerintah yang masih mencoba mengurangi konsumen rokok dengan terus menaikkan tarif cukai rokok. Bahkan GGRM meski mencatatkan laba di tahun 2023, manajemen memutuskan tidak membagikan dividen. Ia berpendapat, kondisi tersebut menjadi sentimen yang memberatkan karena salah satu ketertarikan investor di produsen rokok adalah dividen. "Khusus untuk produsen rokok, investor dapat memanfaatkan jika ada kenaikan untuk jangka pendek saja dan dapat diversifikasi dengan sektor lain," ujarnya. Kendati demikian, Audi melihat ASII masih berpeluang untuk menguat ke depannya. Ia menilai, koreksi saham yang terjadi pada ASII ini lebih disebabkan oleh pengetatan kebijakan moneter dari suku bunga, yang pada akhirnya berdampak pada permintaan kendaraan. Direktur PT Rumah Para Pedagang Kiswoyo menilai saham GGRM, UNVR dan HMSP yang masuk ke jenis sektor konsumer ambles dikarenakan bobot pada IHSG yang mengecil, efek dari adanya penawaran umum perdana saham (IPO) pada PT Bukalapak.com Tbk (
BUKA) dan PT Goto Gojek Tokopedia Tbk (
GOTO) beberapa waktu lalu.
Baca Juga: IHSG Catat Rekor Baru ke 7.905, Top Gainers LQ45: TOWR, BRPT & BBTN, Kamis (19/9) "Jadi zaman dahulu itu, bobot IHSG nomor satu nomor perbankan. Yang kedua itu konsumer seperti GGRM, UNVR dan HMSP. Namun, karena ada IPO BUKA dan lanjut GOTO, itu bobotnya diubah perhitungannya, nah yang ketiga emiten ini ambles," kata Kiswoyo kepada Kontan, Kamis (19/9). Bobot yang menciut pada emiten di bidang konsumer itu membuat para manajer investasi menjual saham-saham tersebut. Ditambah lagi, ada sentimen kenaikan tarif cukai rokok yang membuat kinerja produsen rokok anjlok. "Sektor rokok memang kena hajar lagi. Jadi keuntungan mereka tergerus," ucapnya. Di samping itu, Kiswoyo melihat pergerakan saham ASII yang masih
laggard karena turunnya penjualan mobil dan masuknya mobil asal China. Namun, sentimen ini dinilai bersifat sementara sehingga saham ASII ke depannya masih berpeluang tumbuh. "ASII pasti akan naik, tinggal tunggu waktu saja. Kalau untuk HMSP, GGRM dan UNVR itu sulit naik lagi karena bobot IHSG kecil. Susah," tuturnya. Sementara untuk saham TLKM juga berpotensi tumbuh setelah sebelumnya terkena sentimen dari masuknya Starlink ke Indonesia. "Seharusnya mereka sudah pulih.
Net profit mereka bisa tumbuh meski tipis dan pendapatan juga tumbuh. Seharusnya ini tidak ada masalah," tutupnya.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus optimis pergerakan saham
blue chip yang
laggard tersebut masih bisa tumbuh positif. Asalkan, perusahaan-perusahaan itu bisa
agile dengan setiap perubahan, mampu memitigasi risiko dan didukung oleh regulasi pemerintah.
"Saya engga bisa katakan tidak (bisa mendaki) karena semuanya bisa terjadi di
market. Tapi balik lagi ke perusahaan," terang Nico kepada Kontan, Kamis (19/9). Hal itu terlihat dari strategi ASII dan TLKM yang terus mendiversifikasi bisnis dan tanggap atas perubahan era.
Nico merekomendasikan untuk
buy saham ASII dan TLKM dengan masing-masing target harga Rp 5.600 per saham dan Rp 3.900 per saham. Sementara Audi merekomendasikan
buy untuk saham ASII dengan target harga di level Rp 5.500 Kemudian, Kiswoyo merekomendasikan
buy saham ASII dengan target harga Rp 6.500 - Rp 7.000 per saham dan
buy saham TLKM dengan target harga Rp 4.500 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari