JAKARTA. Desakan merevisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) makin menguat. Desakan tersebut, salah satunya datang dari Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM). Kepala BKPM Gita Irawan Wirjawan mengatakan, sepakat dengan pihak-pihak yang menginginkan perubahan beleid tersebut. Sebab, UU Migas tidak memiliki keberpihakan yang cukup terhadap para investor. "Intinya, saya mendukung segala kebijakan agar proinvestasi. Kan memang ini yang dibutuhkan untuk mendatangkan investasi," ujar Gita kepada KONTAN di sela-sela perhelatan Indonesia Summit 2010 kemarin (25/3). Desakan untuk merevisi UU Migas juga datang dari Senayan, tempat para wakil rakyat bermarkas. "Panitia Khusus Hak Angket tentang Bahan Bakar Minyak (BBM) waktu itu meminta agar Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menelaah pasal-pasal yang hendak direvisi," kata Romahurmuzy, anggota Komisi Energi (VII) DPR. Menurut Romahumuzy, revisi UU Migas sangat mendesak lantaran sejak 2001 lalu produksi minyak mentah nasional mengalami stagnasi, bahkan kemudian menurun. "Kami dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengajukan usulan agar ada 14 pasal yang direvisi," ujar dia. Romahumuzy mengungkapkan, dalam UU Migas yang perlu dilakukan deliberalisasi adalah sektor hulu. Sebab perkembangan lima tahun terakhir menunjukkan jumlah produksi alias lifting minyak terus menurun. Data Kementerian Keuangan menyebut, pada 2004 lalu lifting minyak masih di atas 1 juta barel per hari. Namun, di tahun-tahun berikutnya menyusut di bawah 1 juta barel per hari. Romahumuzy menambahkan, hal lain yang juga perlu ditinjau ulang dalam UU Migas adalah keberadaan Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Lembaga ini sebaiknya dibubarkan saja atau dikembalikan fungsinya menjadi bagian dari PT Pertamina. Jadi, "Kembali ke aturan lama, Pertamina yang melakukan kontrak dengan pengusaha migas," imbuhnya. Masalah lain yang juga menimbulkan keraguan investor adalah pengenaan pajak eksplorasi. Memang, saat ini lewat peraturan menteri keuangan (PMK), pajak eksplorasi masih ditanggung pemerintah. "Masalahnya, masak ketentuan UU Migas di-pending sama PMK yang kemudian dikuatkan lewat UU APBN, sekalian saja direvisi," kata Romahumuzy. Cuma, Sammy Hamzah, Vice President Indonesia Petroleum Asociaton (IPA), menegaskan, tak ada hubungan langsung antara penurunan produksi dengan UU Nomor 24 Tahun 2001. "Sebaiknya arah revisi UU Migas semangatnya menyelaraskan dengan aturan lainnya seperti soal pajak," ujar dia. Mengenai usulan pembubaran BP Migas, Sammy cuma menjawab, "Itu hanya masalah politis saja". nCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Desakan Merevisi UU Migas Menguat
JAKARTA. Desakan merevisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) makin menguat. Desakan tersebut, salah satunya datang dari Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM). Kepala BKPM Gita Irawan Wirjawan mengatakan, sepakat dengan pihak-pihak yang menginginkan perubahan beleid tersebut. Sebab, UU Migas tidak memiliki keberpihakan yang cukup terhadap para investor. "Intinya, saya mendukung segala kebijakan agar proinvestasi. Kan memang ini yang dibutuhkan untuk mendatangkan investasi," ujar Gita kepada KONTAN di sela-sela perhelatan Indonesia Summit 2010 kemarin (25/3). Desakan untuk merevisi UU Migas juga datang dari Senayan, tempat para wakil rakyat bermarkas. "Panitia Khusus Hak Angket tentang Bahan Bakar Minyak (BBM) waktu itu meminta agar Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menelaah pasal-pasal yang hendak direvisi," kata Romahurmuzy, anggota Komisi Energi (VII) DPR. Menurut Romahumuzy, revisi UU Migas sangat mendesak lantaran sejak 2001 lalu produksi minyak mentah nasional mengalami stagnasi, bahkan kemudian menurun. "Kami dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengajukan usulan agar ada 14 pasal yang direvisi," ujar dia. Romahumuzy mengungkapkan, dalam UU Migas yang perlu dilakukan deliberalisasi adalah sektor hulu. Sebab perkembangan lima tahun terakhir menunjukkan jumlah produksi alias lifting minyak terus menurun. Data Kementerian Keuangan menyebut, pada 2004 lalu lifting minyak masih di atas 1 juta barel per hari. Namun, di tahun-tahun berikutnya menyusut di bawah 1 juta barel per hari. Romahumuzy menambahkan, hal lain yang juga perlu ditinjau ulang dalam UU Migas adalah keberadaan Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Lembaga ini sebaiknya dibubarkan saja atau dikembalikan fungsinya menjadi bagian dari PT Pertamina. Jadi, "Kembali ke aturan lama, Pertamina yang melakukan kontrak dengan pengusaha migas," imbuhnya. Masalah lain yang juga menimbulkan keraguan investor adalah pengenaan pajak eksplorasi. Memang, saat ini lewat peraturan menteri keuangan (PMK), pajak eksplorasi masih ditanggung pemerintah. "Masalahnya, masak ketentuan UU Migas di-pending sama PMK yang kemudian dikuatkan lewat UU APBN, sekalian saja direvisi," kata Romahumuzy. Cuma, Sammy Hamzah, Vice President Indonesia Petroleum Asociaton (IPA), menegaskan, tak ada hubungan langsung antara penurunan produksi dengan UU Nomor 24 Tahun 2001. "Sebaiknya arah revisi UU Migas semangatnya menyelaraskan dengan aturan lainnya seperti soal pajak," ujar dia. Mengenai usulan pembubaran BP Migas, Sammy cuma menjawab, "Itu hanya masalah politis saja". nCek Berita dan Artikel yang lain di Google News