JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) siap meluncurkan produk derivatif berbasis surat utang atau obligasi. Produk bernama Indonesia Government Bond Futures (IGBF) ini ditargetkan bisa diperdagangkan pada awal Desember 2016. IGBF akan menggunakan aset dasar surat utang negara (SUN) seri acuan atau benchmark bertenor 5 tahun dan 10 tahun. BEI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyusun peraturan perdagangan dan pengujian sistem perdagangan IGBF. "Nantinya perdagangan melalui bursa dan tidak OTC (over the counter)," ungkap Direktur Pengembangan BEI Nicky Hogan, Rabu (10/8).
BEI juga menjamin likuiditas perdagangan instrumen derivatif ini. Nantinya, bakal ada penggerak pasar atau liquidity provider. Namun, Nicky mengatakan belum menentukan pihak yang berperan sebagai
liquidity provider. Sekedar informasi, produk derivatif merupakan aset finansial yang diturunkan dari aset acuan atau aset dasar. Produk derivatif sebetulnya sudah lama ada di BEI, namun terkesan mati suri. BEI telah meluncurkan kontrak berjangka indeks efek (KBIE) LQ45 awal tahun ini sebagai salah satu upaya reaktivasi produk derivatif. Saat ini, terdapat empat pihak yang berperan sebagai
liquidity provider dalam perdagangan KBIE, yakni Binaartha Parama, RHB Securities Indonesia, Henan Putihrai, dan Universal Broker Indonesia. Menurut Head of Fixed Income Mandiri Sekuritas Handy Yunianto, peluncuran produk derivatif obligasi perlu dibarengi sosialisasi agar instrumen ini bisa diterima oleh pasar. Menurutnya, produk ini akan bermanfaat bagi investor sebagai sarana lindung nilai atau hedging. Setali tiga uang, Head of Fixed Income Division Indomitra Securities Maximilianus Nico mengatakan, produk ini bisa menjadi sarana lindung nilai sehingga mengurangi risiko gagal bayar. Instrumen derivatif ini menarik karena memiliki aset dasar obligasi pemerintah seri acuan
fixed rate (FR).
"Obligasi yang menjadi aset dasar likuid dan memiliki nominal outstanding yang besar dibandingkan obligasi lainnya," ujar Nico. Namun Ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih memperkirakan, investor instrumen derivatif ini akan terbatas. Pasalnya, saat ini tak semua institusi diperbolehkan membeli derivatif. "Kemungkinan penerbitan produk ini disebabkan karena pemerintah kehabisan kuota issuance, sementara likuiditas masih banyak, sehingga membutuhkan instrumen baru," papar Lana. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie