JAKARTA. Kementerian Perdagangan menyatakan bahwa devaluasi terhadap dolar AS diharapkan mampu dimanfaatkan pelaku industri dalam negeri untuk mendorong ekspor. "Dari Januari-Juli 2015, terhadap dolar AS, secara persentase nilai rupiah kita sudah mengalami penurunan sebesar 8,5%, sementara devaluasi yuan 1,9-2%. Intinya, tanpa devaluasi kita sudah turun dari yuan," kata Direktur Pengembangan Pasar dan Informasi Ekspor Ditjen Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kementerian Perdagangan, Ari Satria, di Jakarta, Jumat (21/8). Ari menjelaskan, jika dilihat dari sisi perbandingan nilai tukar terhadap dolar AS, nilai barang asal Tiongkok tersebut mengalami penurunan 2% sementara produk dalam negeri mengalami penurunan sampai 8,5%, sehingga seharusnya produk dalam negeri memiliki daya saing yang jauh lebih baik daripada produk Tiongkok. "Barang-barang Tiongkok lebih murah, akan tetapi kita lebih murah lagi. Namun, permasalahannya produk ekspor Indonesia mayoritas memiliki komponen atau bahan baku impor yang tinggi," ujarnya. Menurut Ari, dengan kondisi rupiah yang melemah, maka harga bahan baku menjadi lebih mahal. Dengan kondisi tersebut, apakah produsen dalam negeri mampu menjual barang dengan lebih murah karena biaya produksi juga mengalami peningkatan. Menurut Ari, sesungguhnya yang bisa memanfaatkan pelemahan rupiah adalah sektor industri yang berbasis sumber daya alam dan memiliki lokal konten yang tinggi. Namun, untuk industri yang memiliki konten impor, akan sulit untuk bersaing dengan produk Tiongkok. Hanya saja, bagaimana industri yang memiliki lokal konten tinggi tersebut kinerjanya bisa lebih baik daripada industri yang berbahan baku impor. "Mungkin beberapa industri akan kesulitan, seperti elektronik dan TPT, yang memiliki konten impor tinggi," kata Ari. Pada periode Januari-Juli 2014 lalu tercatat ekspor ke Negeri Tirai Bambu mencapai US$ 10,16 miliar, sementara pada periode yang sama di tahun 2015 turun 23,69% atau hanya menjadi US$ 7,76 miliar. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Devaluasi Yuan diharapkan mampu mendorong ekspor
JAKARTA. Kementerian Perdagangan menyatakan bahwa devaluasi terhadap dolar AS diharapkan mampu dimanfaatkan pelaku industri dalam negeri untuk mendorong ekspor. "Dari Januari-Juli 2015, terhadap dolar AS, secara persentase nilai rupiah kita sudah mengalami penurunan sebesar 8,5%, sementara devaluasi yuan 1,9-2%. Intinya, tanpa devaluasi kita sudah turun dari yuan," kata Direktur Pengembangan Pasar dan Informasi Ekspor Ditjen Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kementerian Perdagangan, Ari Satria, di Jakarta, Jumat (21/8). Ari menjelaskan, jika dilihat dari sisi perbandingan nilai tukar terhadap dolar AS, nilai barang asal Tiongkok tersebut mengalami penurunan 2% sementara produk dalam negeri mengalami penurunan sampai 8,5%, sehingga seharusnya produk dalam negeri memiliki daya saing yang jauh lebih baik daripada produk Tiongkok. "Barang-barang Tiongkok lebih murah, akan tetapi kita lebih murah lagi. Namun, permasalahannya produk ekspor Indonesia mayoritas memiliki komponen atau bahan baku impor yang tinggi," ujarnya. Menurut Ari, dengan kondisi rupiah yang melemah, maka harga bahan baku menjadi lebih mahal. Dengan kondisi tersebut, apakah produsen dalam negeri mampu menjual barang dengan lebih murah karena biaya produksi juga mengalami peningkatan. Menurut Ari, sesungguhnya yang bisa memanfaatkan pelemahan rupiah adalah sektor industri yang berbasis sumber daya alam dan memiliki lokal konten yang tinggi. Namun, untuk industri yang memiliki konten impor, akan sulit untuk bersaing dengan produk Tiongkok. Hanya saja, bagaimana industri yang memiliki lokal konten tinggi tersebut kinerjanya bisa lebih baik daripada industri yang berbahan baku impor. "Mungkin beberapa industri akan kesulitan, seperti elektronik dan TPT, yang memiliki konten impor tinggi," kata Ari. Pada periode Januari-Juli 2014 lalu tercatat ekspor ke Negeri Tirai Bambu mencapai US$ 10,16 miliar, sementara pada periode yang sama di tahun 2015 turun 23,69% atau hanya menjadi US$ 7,76 miliar. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News