Devisa hasil ekspor mulai mengalir



JAKARTA. Kebijakan pemulangan devisa hasil ekspor mulai menunjukkan hasil. Bank Indonesia (BI) mencatat, dari total ekspor Januari 2012, 70% hasilnya sudah masuk ke perbankan dalam negeri. Angka tersebut mencerminkan data Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang disampaikan eksportir ke perbankan yang kemudian diteruskan ke BI untuk dibukukan sebagai penerimaan devisa.

Direktur Eksekutif Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter BI, Hendy Sulistiowaty menjelaskan, pada Januari 2012, bank telah menerima 38.000 laporan transaksi eksportir. Pada bulan-bulan berikutnya jumlah tersebut bertambah, yakni 67.400 laporan pada Februari dan 72.000 laporan pada Maret.

Berdasarkan data Januari, sebanyak 70% hasil ekpsor sudah masuk ke dalam negeri. "Kami ingin jumlah ini terus bertambah," kata dia dalam seminar penerapan aturan devisa hasil ekspor, Rabu (25/4). Gambaran saja, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, ekspor Indonesia selama Januari 2012 mencapai US$ 15,49 miliar.


Difi Ahmad Johansyah, Juru bicara BI, mengatakan, pencapaian ini terbilang memuaskan. Pasalnya, baru memasuki bulan ketiga setelah aturan efektif, devisa hasil ekspor yang masuk sudah mencapai 70%. Padahal, eksportir mempunyai waktu hingga enam bulan untuk membawa pulang hasil penjualannya ke luar negeri.

Hendy menambahkan, pasokan valas milik eksportir ini bisa memperkuat makro ekonomi dan stabilitas nilai rupiah. Selama ini, rupiah sering terpengaruh karena besarnya permintaan dollar AS ketimbang suplai. "Kita selalu shortage valas karena hasil ekspor tidak selalu masuk. Saat-saat tertentu, BI harus masuk ke pasar supaya eksportir dan importir tidak rugi kurs, hasilnya cadangan devisa Indonesia menurun," jelasnya.

Selain menambah suplai valas, kebijakan ini juga meningkatkan akurasi pencatatan ekspor dan penerimaan hasil ekspor. Jadi, tak ada lagi kesenjangan antara nilai ekspor dan pencatatan uang masuknya. BI pernah mengestimasi, dari total ekspor tahun lalu, sekitar US$ 31 miliar terparkir di luar negeri.

Menurut Hendy, ada sekitar 100 eksportir besar yang memarkir devisa mereka di luar negeri dengan nilai US$ 2 miliar per bulan. Sebanyak 22 di antaranya merupakan perusahaan pertambangan dan migas yang terikat kontrak karya.

Informasi saja, BI merilis Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/20/PBI/2011 pada Oktober 2011. Dalam aturan tersebut, bank sentral mewajibkan eksportir memarkir hasil ekspor ke perbankan dalam negeri.

Hasil devisa tahun ini wajib diterima melalui bank dalam negeri paling lama 6 bulan setelah tanggal PEB. Mulai tahun 2013 batas penerimaan devisa dipercepat menjadi tiga bulan setelah PEB. BI memberikan masa transisi hingga akhir tahun 2012 untuk eksportir yang terikat perjanjian dengan bank di luar negeri untuk menjalankan kewajiban memarkir hasil ekspor.

Perbankan domestik mencicipi kenaikan suplai valas dari eksportir. Head of Trade and Supply Chain ANZ Indonesia, Lucy Sucianto mengatakan, pada kuartal I-2012, sudah terjadi peningkatan 2,5 kali transaksi ketimbang kuartal pertama 2011.

Direktur Tresuri Bank Mandiri, Royke Tumiliar mengemukakan hal berbeda. Menurutnya, kebijakan devisa hasil ekspor belum berdampak pada peningkatan transaksi di Mandiri. Menurut dia, masih ada pekerjaan rumah para pemangku kepentingan, seperti melacak eksportir yang tidak menggunakan L/C dalam bertransaksi. “Jumlahnya banyak di Indonesia," ujarnya, tanpa menyebutkan rata-rata transaksi ekspor di Bank Mandiri.

Direktur Korporasi Bank Central Asia (BCA), Dhalia Mansoor Ariotedjo mengungkapkan hal sama. Menurutnya peningkatan transaksi dan pelaporan devisa hasil ekspor ke bank masih belum terlihat. Selain itu, BCA masih mengujicoba sistem. "Kami masih sulit memisahkan valas yang merupakan remitansi atau hasil ekspor," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie