Devisa susut, impor harus dipangkas



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Posisi cadangan devisa hingga akhir Juli 2018 kembali turun. Bank Indonesia (BI) mencatat, posisi cadev di akhir bulan lalu sebesar US$ 118,3 miliar, turun US$ 1,5 miliar dibandingkan dengan akhir bulan sebelumnya. Dengan demikian, sejak awal tahun hingga akhir Juli 2018, posisi cadangan devisa telah tergerus hampir sebesar US$ 12 miliar.

Menurut bank sentral, penurunan cadangan devisa Juli 2018, utamanya dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang tinggi.

Nilai tukar rupiah memang cenderung melemah setelah perang dagang Amerika Serikat (AS)-China kembali bergulir pada pertengahan Juni lalu. Defisit transaksi berjalan (current account deficit) atau CAD yang berpotensi membengkak di kuartal kedua, menambah tekanan terhadap rupiah. Di bulan kemarin, nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp 14.541 per dollar AS berdasarkan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada 24 Juli 2018.


Padahal, BI telah mengeluarkan berbagai jurus untuk menghadang tergerusnya cadangan devisa lebih dalam. Mulai dari menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) hingga 100 basis points (bps) dari awal tahun, hingga mereaktivasi Sertifikat BI (SBI) 9 dan 12 bulan.

Walau tergerus cukup banyak, BI menilai, "Cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," kata Direktur Departemen Komunikasi BI Arbonas Hutabarat, Selasa (7/8). Penilaian itu didasarkan pada posisi cadangan devisa yang masih setara dengan pembiayaan 6,9 bulan impor atau 6,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Ekonom Maybank Indonesia Juniman mengatakan, penurunan cadangan devisa akhir Juli 2018, karena pengaruh neraca perdagangan yang masih cenderung defisit. Sebab, aktivitas impor kembali ke kondisi normal setelah melewati Idulfitri.

Segera pangkas impor

Meski nilai cadangan devisa belum mempengaruhi psikologis pasar karena di atas standar internasional, penurunan cadangan devisa bisa menjadi peringatan bagi pemerintah. "Cadev yang turun warning bagi pemerintah untuk memperbaiki neraca dagang dan neraca pembayaran Indonesia," kata Juniman kepada KONTAN.

Apalagi upaya pemerintah menarik capital inflow dari investasi asing langsung (FDI) melalui berbagai kemudahan investasi, dinilai tak cukup. Pasalnya, di saat yang bersamaan terjadi outflow di investasi portofolio. "Yang paling cepat yang bisa dilakukan adalah memangkas impor," tambahnya. Caranya, dengan menjadwal ulang proyek-proyek infrastruktur.

Ekonom CIMB Niaga Adrian Panggabean mengatakan, tekanan terhadap rupiah ke depan masih akan besar. Ia memperkirakan, kurs rupiah akan ada di level Rp 14.150Rp 14.650 per dollar AS di akhir tahun. Untuk meredam gejolak rupiah, dua hal yang harus dilakukan pemerintah: menjadwal ulang proyek infrastruktur untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan dan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).

Dia berharap rencana pemerintah untuk memperluas mandatori pencampuran biodiesel 20% atau B20 akan bisa mengurangi impor BBM, sehingga tekanan ke rupiah karena defisit neraca perdagangan akan sediki mereda. Langkah itu bisa menjadi upaya jangka pendek, karena efisiensi impor kebutuhan pembangunan infrastruktur belum jelas kabarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie