KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang merupakan bagian dari perumus kebijakan Kelas Ruang Inap Standar (KRIS) berterima kasih pada pihak-pihak yang terlibat dalam pembentukan aturan tersebut. DJSN bersama dengan kementerian terkait telah melaksanakan uji coba implementasi kriteria KRIS JKN di 14 rumah sakit. DJSN dalam rilisnya menyebut, aturan KRIS JKN dapat mempermudah akses kepesertaan JKN kepada pekerja dan pemberi kerja usaha kecil dan mikro, meningkatkan mutu pelayanan rawat inap, dan memperluas akses layanan kesehatan.
Selain itu, KRIS dianggap memperkuat ketahanan dana jaminan sosial kesehatan jangka panjang, memberikan kepastian hukum atas hak layanan kesehatan pekerja penerima upah yang ter-PHK, serta memperkuat efektivitas pengawasan penyelenggaraan program JKN.
Baca Juga: Kebijakan KRIS Diterapkan, Bagaimana dengan Ketersediaan Ruang Perawatan? Adapun pokok-pokok materi muatan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan adalah sebagai berikut: 1. Yang dimaksud dengan manfaat medis berdasarkan kebutuhan dasar kesehatan (KDK) adalah kebutuhan esensial menyangkut pelayanan kesehatan perorangan guna pemeliharaan kesehatan, penghilangan gangguan kesehatan, dan penyelamatan nyawa, sesuai dengan pola epidemiologi dan siklus hidup (Pasal 1 angka 4a). a) Manfaat medis berdasarkan KDK memenuhi 7 kriteria (Pasal 46 ayat 3 dan 4). b) Penyelenggaraan manfaat medis sesuai KDK adalah dengan melanjutkan manfaat yang telah dijamin dalam Perpres 82/2018 dan mempekuat pelayanan medis promotif dan preventif perorangan dengan menambahkan 14 jenis pelayanan penapisan/skrining kesehatan di FKTP dan rujukannya di FKTRL. (Pasal 48 ayat 9). c)Mencakup 14 jenis pelayanan penapisan/skrining, yaitu: 1. diabetes mellitus; 2. hipertensi; 3. ischaemic heart disease; 4. stroke; 5. kanker leher rahim; 6. kanker payudara; 7. anemia remaja putri; 8. tuberkulosis; 9. hepatitis; 10. paru obstruktif kronis; 11. talasemia; 12. kanker usus; 13. kanker paru; dan 14. hipotiroid kongenital.
Baca Juga: Kemenkes: KRIS Merupakan Upaya untuk Perbaikan Layanan dan Keselamatan Pasien 2. Yang dimaksud dengan manfaat non medis berupa fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) adalah standar minimum pelayanan rawat inap yang diterima oleh peserta. (Pasal 1 angka 4b). a) Telah diatur 12 kriteria ruang perawatan inap KRIS sebagai berikut (Pasal 46 A ayat 1): 1. komponen bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi; 2. ventilasi udara; 3. pencahayaan ruangan; 4. kelengkapan tempat tidur; 5. nakas per tempat tidur; 6. temperatur ruangan; 7. ruang rawat dibagi berdasarkan jenis kelamin, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi; 8. kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur; 9. tirai/partisi antar tempat tidur; 10. kamar mandi dalam ruangan rawat inap; 11. kamar mandi memenuhi standar aksesibilitas; dan 12. outlet oksigen.
Baca Juga: Kemenkes: Masa Transisi KRIS Sampai 30 Juni 2025, Targetkan 3.057 Rumah Sakit b) Ketentuan lanjut mengenai bentuk kriteria dan penerapan KRIS akan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Pasal 46A ayat 3). c) Penerapan fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan Kelas Rawat Inap Standar tidak berlaku untuk: a. pelayanan rawat inap untuk bayi atau perinatologi; b. perawatan intensif; c. pelayanan rawat inap untuk pasien jiwa; dan d. ruang perawatan yang memiliki fasilitas khusus. 3. Penerapan kriteria KRIS pada fasilitas rawat inap bagi peserta JKN akan dilaksanakan secara bertahap, sebagai berikut: a) Rumah sakit secara bertahap memenuhi 12 kriteria KRIS sesuai kemampuannya hingga terpenuhi seluruh kriteria dalam kurun waktu 13 bulan sejak pengundangan Perpres 59/2024 pada 8 Mei 2024 hingga 30 Juni 2025 (Pasal 103B ayat 1 dan ayat 2). b) Selama masa transisi 13 bulan (9 Mei 2024 – 30 Juni 2025): -BPJS Kesehatan membayar RS sesuai tarif kelas rawat inap yang menjadi hak Peserta JKN (Pasal 103B ayat 3). -Peserta membayar iuran sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Perpres 64 Tahun 2020.
Baca Juga: Anggota DPR PDI-P Berharap KRIS BPJS Kesehatan Tak Jadi Beban Baru Masyarakat c) Paling lambat 1 Juli 2025, pemerintah akan menetapkan manfaat, iuran, dan tarif berdasarkan hasil evaluasi fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap (Pasal 103B ayat 7 dan ayat 8). 4. Penguatan hak Peserta atas FKTP dan pengaturan pemindahan FKTP adalah sebagai berikut (Pasal 6A dan Pasal7): a) Saat mendaftarkan kepada BPJS Kesehatan, peserta berhak menentukan FKTP yang diinginkan, b) BPJS Kesehatan dapat memindahkan peserta ke FKTP lainya setelah mendapatkan persetujuan peserta, c) Pemindahan FKTP bertujuan untuk pemerataan, peningkatan akses dan mutu pelayanan. 5. Hak atas manfaat pelayanan JKN bagi Pekerja ter-PHK adalah sebagai berikut (Pasal 27): a) Peserta PPU yang ter-PHK tetap memperoleh hak manfaat jaminan kesehatan paling lama 6 bulan, tanpa membayar iuran; Hak pelayanan rawat inap diberikan pada kelas rawat inap standar, atau ruang rawat inap kelas III bila RS belum menerapkan ruang rawat KRIS. b) Pekerja/pemberi kerja menyampaikan bukti status PHK kepada BPJS Kesehatan sebagai berikut: -Bukti diterimanya PHK oleh pekerja dan tanda terima laporan PHK dari Dinas Ketenagakerjaan Kab/Kota, -Perjanjian bersama atau akta bukti perjanjian bersama dan tanda terima laporan PHK dari Dinas Ketenagakerjaan Kab/Kota, atau -Petikan atau putusan pengadilan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. c) Pekerja dan pemberi kerja tetap membayar iuran selama proses penyelesaian perselisihan PHK hingga terbit putusan PHK yang berkekuatan hukum tetap. d) Bila pemberi kerja tidak membayar iuran selama proses penyelesaian perselisihan PHK, pemberi kerja dikenakan ketentuan tunggakan dan wajib melunasi tunggakan iuran kepada BPJS Kesehatan, sedangkan pekerja tetap mendapatkan hak atas manfaat JKN. e) Pekerja ter-PHK yang telah bekerja kembali, wajib melanjutkan kepesertaan JKN dengan mendaftarkan diri sendiri atau didaftarkan oleh Pemberi Kerja. f) Pekerja ter-PHK yang tidak kembali bekerja dan tidak mampu, wajib melaporkan diri dan keluarganya kepada Dinas Sosial Kab/Kota untuk didaftarkan sebagai Penerima Bantuan Iuran JKN. 6. Besaran iuran bagi Pekerja Penerima Upah bagi Pekerja di usaha kecil dan mikro adalah sebagai berikut (Pasal 32 ayat 4 dan 5): a) upah minimum provinsi/kabupaten/kota tidak digunakan sebagai batas bawah gaji atau upah untuk dasar perhitungan iuran b) Batas bawah gaji/upah tersebut akan ditetapkan sesuai hasil kajian aktuaria oleh Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kesehatan, DJSN, BPJS Kesehatan.
Baca Juga: Kemenkes Bidik 3.060 RS Implementasikan KRIS di 2025 7. Perbaikan tata kelola monitoring, evaluasi dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Program JKN, sebagai berikut (Pasal 98): a) DJSN mengordinasikan penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan JKN secara terpadu dan didukung oleh sistem informasi yang berkerja interoperabilitas dengan sistem informasi Kementerian/Lembaga (Pasal 98 ayat (5)), b) BPJS Kesehatan memberikan data yang diperlukan Kementerian/Lembaga, untuk penyelenggaraan monitoring, evaluasi dan pengawasan Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat