BANDA ACEH. Menjelang akhir masa baktinya, anggota Komisi G DPRA membuat kejutan. Melalui juru bicaranya, Tgk Syafi’i Hamzah, dalam Sidang Paripurna DPRA di gedung dewan, Rabu (24/9) malam Komisi G mengajukan beberapa pasal tambahan untuk penyempurnaan isi Rancangan Qanun (Raqan) Hukum Jinayat. Salah satu tambahan pasal yang diusul komisi ini adalah pasal 33 ayat (3) yang berbunyi,
"setiap orang dan atau badan usaha yang dengan sengaja menyediakan fasilitas atau mempromosikan jarimah zina, maka diancam dengan ‘uqubat takzir cambuk paling banyak 100 kali atau denda paling banyak 1.000 gram (1 kg) emas murni atau paling lama penjara 100 (seratus) bulan". Selain itu, masih ada beberapa pasal tambahan yang disampaikan juru bicara komisi G itu saat memberikan tanggapan komisinya terhadap Raqan Hukum Jinayat yang disampaikan Pemerintah Aceh dalam Sidang Paripurna DPRA untuk disahkan.
Ada juga satu pasal tambahan yang cukup kreatif dan inovatif. Pasal itu dimaksudkan untuk mengungkap kebohongan laki-laki yang telah berzina dan perempuannya hamil. Tapi laki-lakinya tak mengakui janin tersebut benihnya sebagai buah dari perzinaan yang ia lakukan. Untuk pembuktian ilmiah kasus seperti ini, Komisi G DPRA mengusulkan bahwa pihak perempuan bisa meminta kepada hakim untuk dilakukan tes deoxyribonucleic acid atau asam deoksiribonukleat, disingkat DNA, setelah anaknya lahir, baru proses penyidangannya dilanjutkan kembali. Sedangkan untuk pelaku pemerkosa, komisi G mengusulkan tambahan hukuman, baik hukuman cambuk, atau denda berupa emas murni, ataupun hukuman penjara atau kurungan. Terhadap pemerkosa, komisi G mengusul agar hukuman cambuknya ditambah dari 100 kali menjadi 125 kali cambuk paling sedikit. Untuk ancaman hukuman maksimalnya juga diusulkan tambah. Bila sebelumnya paling banyak 150 kali, naik jadi 175 kali cambuk. Begitu pula hukuman dendanya. Dari paling sedikit 1.000 gram emas murni, dinaikkan jadi 1.250 gram emas murni. Adapun denda paling banyak 1.500 gram emas murni dinaikkan menjadi 1.750 gram emas murni. Hukuman kurungan atau penjaranya juga diusul tambah oleh Komisi G DPRA. Dari paling sedikit 100 bulan dinaikkan jadi 125 bulan, dan paling banyak 150 bulan dinaikkan jadi 175 bulan penjara (Pasal 48). Hukuman bagi pemerkosa yang memiliki hubungan mahram dengan korbannya, juga diusul tambah. Hukuman cambuknya dari paling sedikit 150 kali cambuk, ditambah mencapai 200 kali cambuk. Hukuman dendanya juga diusul tambah, dari 1.500 gram emas murni, menjadi mencapai 2.000 gram emas murni dan hukuman penjara/kurungan dari 150 bulan menjadi 200 bulan (Pasal 49). Untuk pihak penyidik, komisi G mengusulkan tambahan isi ayat pada pasal 52 ayat (2) yang berbunyi: Setiap diketahui adanya jarima perkosaan, maka penyidik berkewajiban melakukan penyelidikan untuk menemukan bukti permulaan. Pada ayat (4) pasal yang sama, Komisi G DPRA juga mengusulkan penyempurnaan bunyi ayatnya, yaitu penyidik dan jaksa penuntut umum meneruskan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada mahkamah syar’iyah kabupaten/Kota dengan bukti permulaan serta pernyataan kesediaan orang yang mengaku diperkosa untuk disumpah di depan hakim. Sedangkan bagi anak yang belum berumur 18 tahun, kalau dia diduga melakukan jarimah, maka akan diperiksa dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan mengenai peradilan anak. Tapi, bagi orang dewasa yang melakukan zina dengan anak-anak, ancaman hukumannya 100 kali cambuk atau didenda 1.000 gram emas murni atau hukuman penjara paling lama 100 bulan (Pasal 33 ayat 1). Wakil Ketua DPRA, Drs Sulaiman Abda MSi dan Sekretaris Komisi G, Mohariadi Syafari SAg yang dimintai penjelasannya mengenai berbagai tambahan hukuman di dalam rancangan qanun itu mengatakan, tujuannya bukan untuk menakuti-nakuti dan memberikan pandangan yang menyeramkam kepada umat Islam di Aceh. Tambahan hukuman itu, kata Sulaiman Abda, justru untuk mencegah dan melarang masyarakat muslim di Aceh melakukan zina. Perbuatan itu sudah jelas dilarang dalam ajaran Islam karena lebih banyak mudarat daripada manfaatnya bagi ummat. Sebab, menurut Sulaiman, berzina bisa merusak mental, rumah tangga, dan keluarga yang telah dibina dengan baik. Juga bisa menimbulkan berbagai penyakit kelamin, antara lain, raja singa dan HIV/AIDS. Selanjutnya, kepada penyelenggara wisata dan pemilik hotel, losmen, salon, kafe, dan tempat wisata maupun penginapan, diingatkan Komisi G DPRA untuk lebih selektif menerima tamu. Jangan sampai, karena tamunya yang nakal, tapi justru pemilik hotel, salon, kafe, panti pijat, dan tempat wisata lainnya yang menerima akibat dari kelalaiannya.
"Kita harapkan, dengan hadirnya Qanun Hukum Jinayat ini, penyelenggaraan wisata Aceh jadi wisata islami yang kafah," kata Mohariadi. Menurut Mohariadi, hukuman bagi pelanggar syariat Islam yang dimasukkan ke dalam Raqan Hukun Jinayat yang akan disahkan DPRA itu baru sampai pada tahap hukuman cambuk atau denda, dan penjara/kurungan. Belum sampai kepada hukuman rajam dan potong tangan bagi pencuri. "Kalau sewaktu-waktu masyarakat di Aceh nantinya sudah siap untuk sampai pada hukuman tersebut, bisa diusulkan kepada DPRA untuk perubahan Qanun Hukum Jinayat ini," kata Mohariadi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Hendra Gunawan