JAKARTA. Demi mengurangi emisi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan kerjasama dengan Asosiasi Tembaga Internasional Asia Tenggara (International Copper Association South East Asia/ ICASEA) dan Uni Eropa untuk melakukan efisiensi energi di Indonesia. Skema kerjasama ini nantinya ditujukan untuk membuat produk elektronik yang hemat listrik dan ramah lingkungan, khususnya untuk produk pendingin udara. Pasalnya, berdasarkan laporan ICASEA, diantara sepuluh negara ASEAN, Indonesia merupakan negara yang paling boros energi dan berada di peringkat pertama pengguna pendingin udara.
Dari semua negara, Indonesia menggunakan pendingin udara sebesar 72% per tahunnya, artinya ketergantungan masyarakat Indonesia akan pendingin udara sangat besar, jika dibandingkan dengan negara ASEAN lain yang rata-rata hanya 30%. Maritje Hutapea, Direktur Konservasi Energi pada Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi (EBTKE) mengatakan penggunaan pendingin udara yang terlalu sering membuat lingkungan menjadi buruk. "Kita perlu teknologi dan kebijakan agar para produsen AC membuat AC yang hemat listrik dan ramah lingkungan karena saat ini AC sudah menjadi barang umum yang digunakan dalam rumah tangga dan industri, " kata Maritje saat peluncuran program ASEAN SHINE (Standard Harmonization Initiative for Energy Efficiency) di Jakarta, Kamis (16/01). Total nilai investasi untuk proyek ini sebesar € 2,1875 juta dimana 80% dari total investasi dibiayai oleh Uni Eropa. Uni Eropa berkontribusi € 1,750 juta atau setara dengan Rp 28,9 miliar. Sisanya 20% didanai oleh ICASEA. Dalam hal ini pemerintah Indonesia khususnya KESDM tidak mengeluarkan uang, namun pemerintah akan mengatur standar khusus untuk para pembuat pendingin udara agar boleh dijual ke pasar. Maria menyampaikan dengan program ini, Indonesia bisa menghemat energi hingga 5.373 Gwh atau Rp 5,4 triliun per tahun. "Jika produsen AC di Indonesia bisa menciptakan AC yang baik maka tentu bisa menciptakan pasar yang lebih luas lagi hingga ke negara-negara ASEAN lain, " ungkapnya. Sementara itu, Andreas Roettger, Sekretaris Kerjasama Regional Uni Eropa untuk Asia Tenggara menyampaikan program ini akan didanai Uni Eropa selama 4 tahun.
"Ini akan menjadi win win solution untuk kesempatan bisnis dan lingkungan yang seimbang. Kalau mau dilanjutkan atau tidak setelah 4 tahu mendatang, itu bisa saja terjadi karena setiap tahunnya banyak proposal yang diajukan untuk Uni Eropa untuk masalah pendanaan. Jadi ada kemungkinan, " kata Andreas, Kamis (16/01). Ia menambahkan pendanaan yang dibiayai Uni Eropa bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga 4 negara lainnya di ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Sedangkan 5 negara lainnya mengaku belum siap untuk mengimplementasikan program ini. Untuk di Indonesia sendiri sudah diresmikan pada Desember 2013 lalu dan saat ini masih dalam tahap feasibility study. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Hendra Gunawan