Di Bawah Pemerintahan Baru, Ekonomi RI Diproyeksi Mampu Tumbuh 5%



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak Perkara No 1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan 2/PHPU.PRES-XXII/2024 yang diajukan oleh tim hukum Anies-Muhaimin maupun Ganjar-Mahfud terkait sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. 

Dengan begitu, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka hanya tinggal menunggu pelantikan untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2024-2029 di Oktober nanti.

Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan, kebijakan Prabowo-Gibran tidak jauh berbeda dengan Jokowi, di mana kebijakan akan lebih banyak menggenjot infrastruktur dan pembangunan fisik secara masif.


Baca Juga: Kegiatan Usaha Makin Moncer pada Kuartal I 2024, Begini Kata Pengusaha

"Dengan strategi yang sama, saya rasa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di angka sekitar 5%," kata Nailul Kepada Kontan, Senin (22/4).

Nailul juga menerangkan program kampanye Prabowo pun lebih menyasar ke biaya yang sifatnya tidak menghasilkan efek ke pertumbuhan ekonomi, setidaknya dalam jangka pendek-menengah. 

Menurutnya, program jangka pendek masih seperti pemerintahan Jokowi yakni, pembangun infrastruktur dan hilirisasi.

Ia menjelaskan, hilirisasi yang dilakukan saat ini efeknya relatif terbatas dengan keuntungan yang lebih mengejar ekspor barang setengah jadi dari nikel. Seharusnya yang dibangun adalah industri mobil listrik secara keseluruhan bukan hanya hilirasi nikel ke barang setengah jadi. 

"Jadi saya rasa pertumbuhan ekonomi masih mirip selama pemerintahannya Pak Jokowi 5%," ucapnya.

Disisi lain, efek dari program makan siang gratis dan program ambisius lainnya oleh pemerintah baru akan membuat celah fiskal semakin sempit. Pemerintahan baru membutuhkan anggaran yang mungkin mencapai ratusan triliun, baik di tahun pertama hingga tahun kelima.

"Contohnya, dengan skema semua menikmati makan siang gratis pemerintah ini, saya rasa keuangan kita enggak akan kuat menopang beban fiskalnya. Alhasil ada beberapa pilihan, yang pasti dan gampang dilakukan adalah mengurangi subsidi energi," jelasnya.

Namun perlu diingat bahwa menaikkan harga BBM dengan mencabut subsidi akan meningkatkan inflasi, beban hidup masyarakat, termasuk masyarakat miskin akan meningkat. Kemiskinan akan meningkat pula. Itu tidak sebanding dengan efek makan siang yang nyatanya juga bisa salah sasaran.

"Saya prediksi, makan siang gratis untuk 100% ibu hamil, siswa, dan santri Indonesia tidak akan berhasil hingga tahun 2029. Paling mentok menyasar 51% dari target di tahun 2029. Beban APBN kita terlampau besar jika dipaksakan untuk 100% target penerima," katanya.

Baca Juga: Ekonomi Indonesia pada Kuartal I Bisa Tumbuh di Kisaran 5%? Ini Kata Menko Airlangga

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menerangkan ada sejumlah strategi ekonomi yang perlu dilakukan oleh pemerintahan baru. Pertama, memitigasi risiko fluktuasi kondisi ekonomi yang terjadi mengingat faktor global shock semakin banyak.

Kedua, memperkuat fundamental ekonomi Indonesia dengan minimal berdaulat pangan dulu Kemudian impor barang lain dikurangi sedikit demi sedikit agar tidak terlalu tergantung dengan luar. 

"Ketiga, memperkuat dan meningkatkan kualitas SDM sehingga tenaga kerja Indonesia punya skill dan bisa diterima di pasar kerja," tutur Esther kepada Kontan, Senin (22/4).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi