Di kasus Victoria, Kejagung dituding tebang pilih



JAKARTA. Langkah Jaksa Agung dalam mengungkap kasus dugaan korupsi penjualan hak tagih atau cessie Badan Penyehatan Perbankan Negara (BPPN) terus menuai kecaman.   Direktur Sustainable Development Indonesia Drajad Wibowo menilai, sebagai penegak hukum, seharusnya berani menangkap seluruh konglomerat Indonesia, jika mempermasalahkan pembelian aset murah BPPN.   Sejatinya, dirinya belum mengetahui jelas masalah pembelian piutang yang melibatkan Victoria Securities Indonesia seperti tuduhan Kejagung.   "Saya tidak tahu detail kasusnya. Tapi kalau alasan ditangkapnya karena beli harga murah maka hampir semua konglomerat di Indonesia harus ditangkap. Karena hampir semua beli barang BPPN dengan harga murah baik langsung ataupun tidak langsung," kata Drajad, Minggu (30/8).   Menurutnya, pembelian asset murah harusnya dipidanakan, karena permainan harganya yang tidak masuk akal. Jika, satu perusahaan dipersoalkan maka semuanya juga jadi persoalan. Terutama, BPPN harus dibongkar semua data-datanya.   "Saya tidak tahu Kejaksaan Agung punya bukti apa. Tapi kalau hanya karena dia beli dengan harga murah maka akan banyak yang harus ditangkap," tegasnya.   Selain itu, Drajad menyebutkan semua asset BPPN yang dijual murah merugikan negara. Dirinya juga mempertanyakan Kejagung yang begitu dalam persoalkan masalah tersebut hanya pada satu perusahaan.   "Nggak tahu lah. Kenapa Kejagung ambil satu itu. Kalau dia konsisten temen deket dia ambil juga," katanya menyindir salah satu pemilik media yang pimpinan partai politik.   Lebih lanjut Drajad mengakui adanya gangguan stabilitas ekonomi, instabilitas dan ketidaknyamanan investasi setelah penyidikan Kejagung.   "Karena kalau semua begitu, satu kena yang lain-lain mikir kena nggak ya kena tidak ya," katanya   Untuk diketahui, kronologis kasus pembelian hak atas piutang (cessie), dari BPPN, berupa asset tanah seluas 1.200 hektar di Karawang, Jawa Barat. Bermula dari utang Adyaesta Group (AG) pada Bank Tabungan Negara (BTN) pada September 1995. Pinjaman tersebut diperuntukkan untuk proyek perumahan Karawang I dan II.   Namun pada perjalanannya proyek tersebut terhenti lantaran krisis ekonomi. BTN menjadi salah satu bank yang masuk sebagai pasien BPPN. Pada tahun 2002 pemerintahan Megawati menggelar lelang hak tagih atas utang AG sebesar Rp 266.400.195.000. Lelang tersebut diikuti oleh tiga pihak yakni PT First Capital, Harita Kencana Securities dan VSIC. Lelang tersebut dimenagkan oleh PT First Capital dengan penawaran Rp 69,5 miliar.   Setelah memenangkan lelang PT First Capital membatalkan pembelian. Alasanya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGU) No 1/Karanganyar seluas 300 hektar yang dijadikan jaminan hanya berupa fotocopy. Pasca pembatalan pembelian tersebut VSIC kembali melakukan penawaran tanggal 20 Agustus 2003.   Melalui surat notifikasi BPPN Nomor Prog-7207/BPPN/0903, tanggal 1 September 2003 VSIC diumumkan sebagai pemenang. Sepekan setelah diumumkan pihak VSIC langsung membayar kewajiban jual-beli dengan obyek hak tagih terhadap AG dengan nilai Rp 32 miliar. Perjanjian tersebut ditandatangani dalam Perjanjian Pengalihan Piutang No 57 di depan notaris Eliwaty Tjitra SH tanggal 17 November 2003.   Pembelian aset inilah yang kemudian dijadikan dasar Kejaksaan Agung melakukan penyidikan. Rendahnya nilai jual pengalihan piutang dinilai merugikan negara oleh Kejaksaan Agung. Padahal jika merunut kebijakan pemerintahan Presiden Megawati kala itu memang memberikan diskon besar-besaran kepada siapa saja yang mau membeli aset dari obligor bermasalah.   Setidaknya ada sekitar 3.000-4.000 dengan status lengkap data kepemilikannya . Aset bermasalah itu diperkirakan berjumlah 2.400-3.400 aset. Total nilai aset saat ini mencapai ratusan triliun. Kondisi inilah yang membuat pasar tidak merespon positif lelang yang dilakukan BPPN. Sampai akhirnya muncullan ide untuk memberikan diskon.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Yudho Winarto