KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kasus dalam perkara dugaan suap terkait pelimpahan Izin Usaha Pertambangan dengan tersangka Mardani Maming terus bergulir. Dalam kasus ini Mardani yang juga Ketua Hipmi ini terus melawan atas penetapan tersangka. Maming juga diketahui mengajukan sidang pra peradilan atas penetapan tersangka. Dalam sidang pra peradilan, Kuasa hukum Mardani H. Maming, Abdul Qodir bin Aqil, menyebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tersangka lebih dulu, baru mencari-cari bukti. “Penetapan klien kami sebagai tersangka dilakukan bersamaan dengan diterbitkannya Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) pada 16 Juni 2022,” kata Abdul Qodir yang anggota tim kuasa hukum Mardani Maming dari Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum PBNU dalam keterangannya.
Menurutnya selain tidak sah karena bertentangan dengan hukum acara pidana, ini juga berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang karena penegakan hukum ditujukan kepada orangnya, baru kemudian dicari-cari perkaranya. Abdul Qodir bilang, cara-cara seperti itu bertentangan dengan hukum acara pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), melanggar due process of law, dan mengingkari prinsip pro-justitia. Sesuai KUHAP, penetapan tersangka seharusnya hasil dari proses penyidikan sementara terbitnya Sprindik merupakan awal lahirnya wewenang penyidik untuk melakukan penyidikan.
Baca Juga: Pada 12 Juli Mendatang, Sidang Perdana Praperadilan Mardani Maming Digelar “Mardani Maming ditetapkan sebagai tersangka didasarkan atas bukti permulaan yang dihasilkan dari Berita Acara Pemberian Keterangan,” kata Abdul Qodir. “Padahal, KUHAP menegaskan bukti permulaan itu harus didasarkan atas bukti- bukti dari hasil pemeriksaan pro-justitia di tingkat penyidikan, dan bukan di proses penyelidikan.” Pendapat kuasa hukum Bendahara Umum PBNU itu diperkuat oleh keterangan ahli hukum pidana, Flora Dianti. Dalam persidangan praperadilan, dosen Ilmu Hukum Universitas Indonesia itu menegaskan bukti yang diperoleh untuk menentukan tersangka harus melalui proses penyidikan pro-justitia sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP. Dalam persidangan, KPK berdalih bahwa mereka memiliki kekhususan berdasarkan atas Pasal 44 Undang-Undang KPK. Menurut KPK, tidak seperti penegak hukum dari Kepolisian dan Kejaksaan yang hanya diperintahkan untuk menemukan suatu peristiwa pidana dalam tahap penyelidikan, KPK sudah diamanatkan untuk menemukan dua bukti permulaan yang cukup dalam tahap penyelidikan. Namun, Abdul Qodir memandang KPK keliru menafsirkan pasal tersebut. Dia menyatakan, Pasal 44 hanya mengatur tindakan KPK pada tahap penyelidikan untuk menemukan peristiwa pidana yang didukung dua alat bukti permulaan yang cukup. Ketentuan pasal ini, lanjut Abdul Qodir, tidak dapat dimaknai bahwa penyidik dapat langsung menentukan seseorang sebagai tersangka. “Dalam Pasal 44, tidak ada satu ayat pun yang memberi justifikasi bagi KPK untuk dapat menetapkan tersangka melalui bukti yang didapatkan melalui proses penyelidikan,” kata Abdul Qodir. “Apalagi dalam perkara ini, klien kami tidak tertangkap tangan.” Selain itu, dia bilang, pasal tersebut harus dibaca bersamaan dengan Pasal 38 dan 45 Undang-Undang KPK. Pasal 38 dan 45 jelas menyatakan bahwa penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam hukum acara pidana berlaku bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK. “Itu artinya KUHAP menjadi referensi utama proses penyelidikan dan penyidikan bagi KPK, dan dalam KUHAP penetapan seseorang sebagai tersangka ada di tahap penyidikan, yakni apabila ditemukannya bukti dalam tahap penyidikan pro-justitia.” Karena KPK menetapkan Mardani Maming sebagai tersangka hanya berdasarkan atas proses penyelidikan, maka keterangan-keterangan saksi tidak diambil di bawah sumpah. Bukti pun didapat tanpa berita acara penyitaan. “Alhasil, keterangan saksi dan bukti yang didapat KPK tidak bisa dianggap sebagai alat bukti untuk menetapkan klien kami sebagai tersangka karena belum dilakukannya proses pro-justitia,” kata Abdul Qodir. Lebih jauh, Abdul Qodir memandang KPK harus menyadari, setelah Undang-Undang KPK direvisi pada 2019, telah terjadi perubahan paradigma politik hukum dalam Undang-Undang KPK. Dalam Undang-Undang KPK yang lama, prosedur yang diatur dalam undang-undang lain tidak berlaku bagi KPK. Namun, Undang-Undang KPK yang baru justru menegaskan bahwa seluruh rangkaian tindakan KPK, baik penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan, harus tunduk kepada hukum acara pidana.
“Seharusnya KPK terlebih dahulu memeriksa kembali saksi-saksi dalam proses penyidikan yang sebelumnya telah diambil keterangannya dalam proses penyelidikan,” saran Abdul Qodir. “KPK harus mengumpulkan dan meningkatkan status barang bukti yang diperoleh dalam proses penyelidikan untuk menjadi alat bukti yang sah dalam proses penyidikan, setelahnya barulah dapat ditetapkan tersangkanya.” Pada 16 Juni 2022, Mardani Maming, Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, periode 2010-2018 ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka dalam perkara dugaan suap terkait pelimpahan Izin Usaha Pertambangan. Mardani Maming kemudian mengajukan permohonan praperadilan atas status tersebut. Persidangan praperadilan itu dimulai sejak Selasa, 19 Juli 2022 dan akan berakhir dengan putusan pada Rabu, 27 Juli 2022. Dalam sidang, Anggota Tim Biro Hukum KPK Ahmad Burhanudin mengatakan, KPK telah mengantongi bukti permulaan yang ditemukan penyelidik dalam kasus ini. “Rincian akumulasinya Rp 104.369.887.822,” kata Burhan di ruang sidang PN Jaksel, Rabu (20/7). Burhan mengatakan, hal itu menjadi bukti bahwa Mardani Maming diduga menerima suap. Uang itu disalurkan sejak 20 April 20154 hingga 17 september 2021, atau selama tujuh tahun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Lamgiat Siringoringo