Di Tengah Intaian Inflasi, Saham-saham di Sektor ini Menarik untuk Dilirik



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menutup bulan Agustus, sektor energi masih menjadi jawara dengan lonjakan tertinggi sejak awal tahun 2022. IDX Sector Energy sudah meroket 66,70% sejak awal tahun alias year to date (YtD).

Disusul sektor industrial serta transportasi & logistik yang mampu mencatatkan pertumbuhan double digit. IDX Industrials naik 27,63% sedangkan IDX Transportasi & Logistik menguat 23,20% dalam delapan bulan terakhir.

Sedangkan sektor yang masih merah adalah teknologi yang turun 13,10% secara YtD, properti & real estate anjlok 9,29%, consumer cyclicals merosot 1,43%, dan sektor financials yang turun 0,72%.


Vice President Infovesta Utama Wawan Hendrayana membeberkan, lonjakan sektor energi dipicu meroketnya harga komoditas, terutama batubara, minyak dan gas. Sedangkan sektor industrial dan transportasi-logistik diuntungkan oleh pulihnya aktivitas masyarakat. Untuk sektor yang merosot paling dalam, yakni teknologi, Wawan menyoroti rata-rata emiten yang profitabilitasnya masih negatif.

Baca Juga: Kinerja Cemerlang di Semester I, Simak Rekomendasi Saham Astra (ASII)

"Masih bergerak berdasarkan proyeksi pendapatan yang akan datang. Ini belum cukup mendorong sektoral teknologi bisa positif," terang Wawan kepada Kontan.co.id, Rabu (31/8).

Wawan juga melihat sebagian investor cenderung terlebih dulu memilih sektor yang sedang terpapar katalis positif dari situasi ekonomi, kemudian memilih saham prospektif di sektor tersebut. Apalagi, sektor industrial dan transportasi-logistik banyak dihuni oleh saham second liner.

"Secara prospek, sepanjang sektor bisnisnya sedang dipandang menarik, orang akan masuk. Fokusnya ke sektoral dulu. Kalau big caps-nya sudah terlalu naik, small-mid caps juga akan ikut," jelas Wawan.

Research Analyst Reliance Sekuritas, Lukman Hakim memberikan catatan, lonjakan harga komoditas bagai pisau bermata dua. Di satu sisi menguntungkan emiten di sektor ini, tapi menjadi beban bagi emiten yang membutuhkan bahan baku komoditas seperti semen hingga barang konsumsi.

Kemudian, pelemahan ekonomi global dan kenaikan suku bunga juga menjadi tekanan untuk emiten dengan pembiayaan yang tinggi. Sementara itu, kinerja emiten logistik masih bisa terdorong oleh tingginya permintaan dan kenaikan tarif angkutan pelayaran (freight rate). Di sisi lain, saham di jajaran lapis kedua (second liner) juga bergerak aktif terdorong prospek sektoral.

"Saham second liner juga dapat menjadi pilihan. Dengan memperhatikan kinerjanya, saham second liner tidak kalah prospektif," terang Lukman.

Selanjutnya, pelaku pasar pun mengantisipasi tantangan makro ekonomi. Termasuk kenaikan suku bunga, lonjakan inflasi, serta kenaikan harga-harga barang, terutama Bahan Bakar Minyak (BBM). 

Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengingatkan, jika tidak diantisipasi, kondisi ini bisa memberikan efek domino terhadap pasar. Pada gilirannya, bisa menekan kinerja di banyak perusahaan. Pelaku pasar pun akan mencermati bauran kebijakan fiskal dan moneter dari pemerintah, khususnya untuk meredam gejolak efek kenaikan harga BBM. 

Baca Juga: Laba Duo Indofood Kompak Turun, Simak Rekomendasi ICBP dan INDF

"Bagaimana bauran kebijakan tersebut mampu menghadapi volatilitas yang akan terjadi," ujar Nico.

Dalam situasi saat ini, Nico melihat ke depannya sektor perbankan, consumer non-cyclicals, dan emiten berbasis komoditas terutama minyak dan gas (migas) masih menarik dilirik.

Hal senada juga disampaikan Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rizkia Darmawan. Secara historis, emiten yang punya ketahanan di tengah tantangan makro ekonomi meliputi sektor energi, kebutuhan pokok konsumen, dan keuangan.

Tak hanya yang berkapitalisasi pasar besar, saham-saham di jajaran small - mid caps juga punya prospek. Di sektor energi, Rizkia menyoroti perusahaan yang kegiatan bisnis utamanya terkait produksi dan perdagangan batubara, seperti pada PT Astrindo Nusantara Infrastruktur Tbk (BIPI).

Di sektor keuangan, Rizkia memperkirakan pertumbuhan kredit relatif akan tetap kuat. Dia menjagokan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) sebagai bank syariah terbesar di Indonesia dan PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN) yang memiliki komposisi pinjaman terdiversifikasi.

Sedangkan di sektor kebutuhan pokok, kinerja bisa tetap tangguh lantaran sebagian besar perusahaan akan meneruskan kenaikan biaya kepada konsumen. Di sektor ini, Rizkia memilih saham PT Cisarua Mountain Dairy Tbk (CMRY) yang memiliki bauran produk dan saluran penjualan yang baik.

Wawan juga menjagokan sektor perbankan dan energi. Hanya saja, Wawan cenderung menyarankan untuk melirik saham-saham big caps semacam PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan target harga masing-masing di Rp 3.850 dan Rp 4.700.

Begitu juga perbankan, Wawan merekomendasikan empat bank big caps, yakni PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI). 

"Ini tetap menjadi tumpuan. Untuk lainnya, bisa menjadi alternatif atau diversifikasi," ujar Wawan.

Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham Medco Energi (MEDC) di Tengah Kenaikan Harga Minyak

Sedangkan untuk sektor properti, Wawan menyarankan wait and see terlebih dulu. Sampai bisa mengukur sejauh mana daya tahannya terhadap tren kenaikan suku bunga.

Sementara itu, Analis Teknikal MNC Sekuritas Herditya Wicaksana memandang untuk investasi jangka menengah - panjang, saham bluechips layak menjadi pilihan utama. Namun, dengan kemungkinan adanya rotasi sektoral, saham small - mid caps pun bisa menjadi pilihan trading.

Herditya masih melihat peluang penguatan di sektor energi. Lalu untuk properti dan infrastruktur, dapat dicermati peluang buy on weakness. Sedangkan sektor keuangan ditaksir dalam jangka pendek akan terlebih dulu mengalami penguatan. Lukman juga menjagokan sektor perbankan dan komoditas. Sedangkan untuk emiten konstruksi bisa dilirik di tengah katalis proyek Ibu Kota Negara baru.

"Namun dengan kenaikan suku bunga, untuk sektor konstruksi masih spekulatif," tandas Lukman.

 
BBNI Chart by TradingView

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi