KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) terus bergerak naik mengikuti kenaikan imbal hasil
US treasury. Meski begitu, pasar obligasi Indonesia dinilai analis masih cukup prospektif bagi para investor. Sebagai informasi, Selasa (24/4), imbal hasil
US treasury sempat menyentuh level 3% walau kembali turun ke level 2,9995% pada penutupan perdagangan. Hari ini (25/4) hingga pukul 18.00 WIB, imbal hasil US treasury kembali naik ke level 3,0183%. Di sisi lain, imbal hasil SUN tenor 10 tahun berada di level 6,920% pada penutupan perdagangan kemarin sedangkan hari ini bertengger di level 7,136%.
Fund Manager Capital Asset Management, Desmon Silitonga menyatakan, kendati imbal hasil US treasury telah mencapai level 3%, spread imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat tersebut dengan SUN masih berada di kisaran 370-450 basis poin. Spread sebesar itu dinilai masih menarik untuk investor pasar obligasi Indonesia. Dia beralasan, tekanan di pasar obligasi lebih disebabkan faktor eksternal berupa meningkatnya ekspektasi kenaikan suku bunga acuan AS sehingga mendorong kenaikan imbal hasil US treasury. “Jika imbal hasil US Treasury naik, imbal hasil SUN pasti ikut naik,” katanya, Rabu (25/4). Di sisi lain, kondisi makro ekonomi Indonesia masih tergolong solid berkat kenaikan peringkat utang dari Moody’s dan tingkat inflasi yang masih di level yang wajar. Faktor tersebut yang membuat spread imbal hasil SUN dengan imbal hasil US Treasury tidak terlalu melebar. Analis Fixed Income MNC Sekuritas, I Made Adi Saputra menambahkan, satu hal yang patut diwaspadai saat ini adalah tren pelemahan rupiah. Hari ini pun kurs spot rupiah ditutup melemah di level Rp 13.921 per dollar AS. Terkoreksinya nilai tukar rupiah disinyalir menjadi salah satu penyebab utama di balik meningkatnya risiko investasi atau Credit Default Swap (CDS) Indonesia. Mengutip Bloomberg, hari ini CDS Indonesia tenor 5 tahun berada di level 105,45. Kenaikan CDS Indonesia membuat kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) berkurang. Berdasarkan data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, sejak tanggal 16 hingga 24 April 2018, investor asing telah melakukan aksi jual sebesar Rp 12,63 triliun menjadi Rp 861,02 triliun. Kendati begitu, Made bilang hal tersebut tidak lantas membuat pasar obligasi domestik menjadi tidak menarik bagi investor asing. Pasalnya, posisi rupiah masih lebih baik ketimbang negara-negara emerging market lain yang memiliki peringkat investasi serupa dengan Indonesia, misalnya India dan Filipina. Dia menyebut, mata uang kedua negara tersebut telah terdepresiasi masing-masing lebih dari 3% dan 4% secara year to date, sedangkan rupiah masih dikisaran 2%. Keunggulan tersebut semestinya dapat menjadi daya tarik pasar obligasi Indonesia di mata para investor asing. “Ke depan, peran BI dalam mengintervensi rupiah diperlukan agar minat investor asing untuk berinvestasi di pasar obligasi Indonesia tetap terjaga,” terang Made.
Selain itu, pada dasarnya kenaikan imbal hasil SUN menjadi kesempatan bagi investor, baik lokal ataupun asing, untuk menambah koleksi obligasinya secara bertahap. Ini mengingat imbal hasil SUN sedang berada di level yang tinggi di tengah harganya yang cenderung murah. Made memperkirakan, imbal hasil SUN berpeluang untuk terus berada di level 7% hingga akhir semester I 2018. Sebab, sentimen ekspektasi kenaikan suku bunga acuan AS sulit dibendung sehingga imbal hasil US treasury masih akan terus mengalami kenaikan. Sementara itu, berbekal fundamental ekonomi yang kuat, Desmon optimis imbal hasil SUN tenor 10 tahun masih berpotensi kembali mengalami penurunan pada akhir tahun nanti hingga di kisaran 6,5%--6,6%. “Ini dengan catatan, rupiah bisa kembali ke level Rp 13.700,” ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sofyan Hidayat