KONTAN.CO.ID - BEIJING - Seiring meningkatnya tensi antara Amerika Serikat dan China terkait isu Taiwan, para peneliti Tiongkok, yang terafiliasi dengan pemerintah, mengeksplorasi berbagai strategi respons terhadap potensi sanksi dari AS. Beberapa opsi yang dipertimbangkan meliputi penciptaan jaringan perusahaan global yang tahan terhadap sanksi, penyitaan aset Amerika di Tiongkok, dan penerbitan obligasi berbasis emas. Referensi utama dalam penelitian ini adalah respons Barat terhadap Rusia pasca-invasi ke Ukraina.
Baca Juga: Militer Taiwan Berusaha Mempelajari Pola Serangan Cepat Hamas Menurut ulasan Reuters terhadap lebih dari 200 dokumen kebijakan dan artikel akademis berbahasa Tiongkok yang diterbitkan sejak Februari 2022, sanksi terhadap Rusia telah memicu kebutuhan bagi para ahli ekonomi, pemodal, dan analis geopolitik China untuk mempersiapkan strategi mitigasi terhadap potensi sanksi ekstrem, termasuk kehilangan akses ke dolar AS. Chen Hongxiang, seorang peneliti di cabang Bank Rakyat Tiongkok (PBOC) di Jiangsu, menekankan pentingnya waspada terhadap potensi sanksi AS, mengingat persaingan strategis yang semakin meningkat antara kedua negara. Dia menyarankan agar Tiongkok "bersiap menghadapi hari buruk" untuk menjaga stabilitas finansial dan ekonominya.
Baca Juga: Kecurigaan Taiwan: Pergerakan Militer China di Sekitar Taiwan Sangat Tidak Normal Berdasarkan pengalaman Rusia, ada peringatan bahwa sanksi terhadap ekonomi Tiongkok yang lebih besar dan lebih bergantung pada teknologi dan impor komoditas asing dapat lebih merugikan. Namun, beberapa pandangan lain menyatakan bahwa meningkatkan interdependensi ekonomi mungkin lebih efektif daripada mengisolasi diri. Laporan juga menyinggung isu militer, dengan informasi bahwa Presiden China Xi Jinping, mungkin telah memerintahkan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) untuk bersiap menghadapi invasi ke Taiwan pada 2027. Terkait dengan ini, diskusi tentang potensi sanksi AS meningkat signifikan setelah perang Rusia-Ukraina, menunjukkan kecemasan yang meningkat di Tiongkok.
Baca Juga: Pesawat Militer China Kembali Mendekati Taiwan, Kali Ini Ada 24 Unit Yu Yongding, seorang ekonom terkemuka dan mantan penasihat bank sentral, menyebut bahwa mengantisipasi berbagai skenario dan meresponsnya adalah prioritas utama bagi pembuat kebijakan Tiongkok. Namun, ketika dihubungi oleh Reuters, sebagian besar peneliti dan lembaga yang disebutkan dalam artikel ini menolak untuk berkomentar atau tidak merespon. PBOC menyatakan bahwa makalah yang ditulis oleh stafnya mencerminkan pandangan pribadi dan tidak menjawab pertanyaan spesifik terkait rencana sanksi. Sebagai tambahan, Kantor Informasi Dewan Negara Tiongkok juga tidak memberikan respons terhadap pertanyaan mengenai rencana darurat Beijing.
Editor: Noverius Laoli